Dianggap Jadul, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang UU Telekomunikasi

- Indonesia Digital Forum dibentuk untuk mengatasi permasalahan digital secara multistakeholder.
- Pemerintah perlu mereview Undang-undang Telekomunikasi karena transformasi digital yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
- ATSI menyerukan agar regulasi telekomunikasi ditinjau ulang dan pelaku industri diberi hak serta kewajiban yang seimbang.
Transformasi digital yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun, memunculkan masalah demi masalah. Oleh sebab itu, para asosiasi dari industri tersebut menginisiasikan adanya Indonesia Digital Forum guna membedah permasalahan digital untuk diselesaikan secara multistakeholder.
Dengan tema "Kolaborasi dan Sinergi Membangun Ekosistem Digital Indonesia", Wakil Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Merza Fachys menyebut bahwa pemerintah perlu mengulas ulang Undang-undang Telekomunikasi.
Operator yang semakin merana
Pelaku di industri ini terbagi menjadi dua, yakni penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa, tidak ada penyelenggara digital.
"Yang kasihan, mohon maaf, saya katakan yang kasihan adalah pelaku operator telekomunikasi. Karena kewajibannya masih seperti dulu. Masih seperti dia, masih menguasai segala macam hal dalam industri ini," kata Merza.
Operator telekomunikasi disebutnya sudah tidak lagi menguasai seluruh produk dan jasa. Meski begitu, kewajiban mereka masih sama seperti saat menguasai segala macam hal di industri.
Padahal, yang saat ini dikatakan "berkuasa", tidak mempunyai kewajiban. Oleh sebab itu, ATSI menyampaikan kepada regulator untuk menata ulang regulasi karena sifatnya yang sudah sangat darurat.
Penataan ulang regulasi

Regulasi yang ada perlu ditinjau ulang, tidak hanya dibagi dua, tapi bermacam-macam yang berkaitan dengan digital. Merza juga minta dibuat setransparan mungkin soal siapa yang bertanggung jawab, sehingga masing-masing memiliki hak dan kekuatan.
"Sebetulnya kalau usulan untuk mereview Undang-undang Telekomunikasi kan sudah lama. Bahkan dari pihak Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) sudah pernah mengajukan sebuah draft. Namun sepertinya belum ada satu kata sepakat. Sehingga sampai sekarang memang belum pernah masuk sampai level Badan Legislasi (Baleg)," jelasnya.
Narasi ini mengartikan dua hal yang ambigu, entah para pelaku industri yang memang sangat toleran atau undang-undang yang sedemikian terbuka.
"Tapi menurut saya, dengan dunia digital yang sudah makin luas, ini perlu diatur ulang. Bahwa landscape industri ini, mau tidak mau sudah berubah. Landscape industri ini stratanya sudah makin banyak. Tidak hanya sekedar jaringan dan jasa, ada OTT, segala macam," imbuh Merza.
Apa dampaknya?
Merza memberi contoh, layanan telepon melalui aplikasi didefinisikan sebagai layanan telekomunikasi karena definisi telekomunikasi menurut undang-undang adalah apapun suara dari A ke B adalah telekomunikasi.
"Seharusnya itu bagian dari layanan telekomunikasi. Tapi, nyatanya enggak. Mereka bebas, bukan layanan telekomunikasi. Karena kalau dinyatakan layanan telekomunikasi, ada tuntutan lainnya. Ada aturan-aturan yang harus dipenuhi," ujar Merza.
ATSI mengajak untuk melakukan review pola-pola ini. Mengulang kembali analisa untuk industri serta redefine daripada tugas-tugas. Adapun pihak yang mendapatkan kewajiban, harus memiliki hak, jangan sampai ada pihak-pihak yang diberi kebebasan tanpa harus menjalani kewajiban.