Masalah Twitter bukan hanya terbatas pada budaya call-out dan privasi. Perkembangan Twitter juga lambat dikarenakan CEOnya, Jack Dorsey, yang malah sibuk dengan Square, jasa mobile payment besutannya juga.
Walaupun Dorsey bukan satu-satunya pengusaha yang memegang lebih dari satu usaha, konsentrasi Dorsey terpecah sebegitu rupa sehingga malah menghambat perkembangan Twitter. Itulah tuduhan Evan Williams saat menggantikan Dorsey sebagai CEO Twitter pada 2008.
Twitter bisa dibilang terlambat menerapkan sistem Story pada platform-nya. Bayangkan saja, di saat hampir seluruh platform media sosial sudah menggunakan fitur Story, Twitter "baru" mengembangkannya.
Lebih mengejutkannya lagi, Dorsey mengumumkan akan pindah ke Afrika selama enam bulan untuk memperdalam cryptocurrency.
"Buat apa?!"
Akhirnya, Dorsey menunda niatannya untuk pindah ke Afrika karena virus corona baru (COVID-19). Namun, hal tersebut keburu membuktikan inkonsistensi Dorsey pada Twitter.
Oleh karena itu, saat Elliott Management menanam 4 - 5 persen sahamnya di Twitter pada akhir Februari 2020, mereka ingin merombak kursi direksi, termasuk Jack Dorsey, yang dinilai menghalangi Twitter mencapai potensinya karena terlalu sibuk sendiri.
Nah, Salah satu langkah penyelamat pertama Twitter adalah dengan menjajal fitur Fleets.