Investasi AI di ASEAN+ Meningkat, ROI Masih jadi Tantangan

- Organisasi di Asia Pasifik meningkatkan pengeluaran AI sebesar 3,3 kali lipat.
- Adopsi AI di ASEAN+ masih dalam tahap awal dengan ROI sebagai hambatan utama.
- 65% organisasi di Asia Pasifik memilih solusi on-prem atau hybrid untuk mendukung beban kerja AI.
Organisasi di Asia Pasifik meningkatkan pengeluaran terhadap kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sebesar 3,3 kali lipat. Sementara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN+1) peningkatannya mencapai 2,7 kali lipat.
Percepatan investasi AI kini berfokus pada return on investment (ROI)—rasio keuntungan dan kerugian dari suatu investasi dibandingkan jumlah investasi. Hal ini diungkapkan dalam "Exclusive Media Briefing Lenovo Tech Day 2025" di Jakarta, pada Kamis (27/02/2025).
Hambatan adopsi AI
Temuan ini berasal dari edisi ketiga Lenovo’s CIO Playbook 2025-It's Time for AI-nomics, sebuah studi yang diprakarsai oleh Lenovo berdasarkan data dan analisis dari IDC. Studi ini mengacu pada survei global terhadap lebih dari 2.900 responden, termasuk lebih dari 900 pengambil keputusan TI dan bisnis (ITBDM) di 12 pasar Asia Pasifik.
Meskipun pengeluaran untuk AI terus meningkat, adopsinya di kawasan ASEAN+ masih dalam tahap awal. Saat ini, 47 persen organisasi di wilayah tersebut sedang mengevaluasi atau merencanakan implementasi AI dalam 12 bulan ke depan, angka yang lebih rendah dibandingkan rata-rata Asia Pasifik (56 persen) dan global (49 persen).
Tantangan utama yang dihadapi adalah ROI, yang menjadi hambatan terbesar dalam penerapan AI. Singapura menonjol sebagai pusat regional dengan kematangan dan infrastruktur AI yang lebih maju, sementara negara-negara ASEAN+ lainnya masih menghadapi kendala dalam adopsi AI akibat keterbatasan sumber daya dan keahlian.
Mewujudkan ROI dari AI adalah upaya jangka panjang yang memerlukan keseimbangan antara eksperimen dan proyek yang dapat diperluas skalanya. Menariknya, organisasi di Asia Pasifik mengharapkan ROI rata-rata 3,6 kali lipat dari investasi AI, menuntut pendekatan terukur dalam peningkatan skala dan pengembangan kapabilitas internal.
Adopsi yang lebih bertahap di ASEAN+ mencerminkan fokus pada ASEAN+ termasuk Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, Hong Kong dan Taiwan guna optimalisasi rantai pasokan, peningkatan kepatuhan regulasi, serta peningkatan produktivitas karyawan, dengan mengatasi tantangan seperti manajemen data, keterampilan AI dan keamanan data.
Mengatasi tantangan

Prioritas bisnis yang terus berkembang setiap tahun mencerminkan pemahaman yang lebih dalam tentang faktor pendorong pertumbuhan AI, sekaligus meningkatnya kesadaran terhadap risikonya.
Isu etika dan bias tetap menjadi tantangan utama AI tahun ini, namun hanya 24 persen organisasi global dan 25 persen di Asia Pasifik yang telah sepenuhnya menerapkan kebijakan AI GRC (governance, risk, and compliance).
Di ASEAN+, 24 persen CIO (Chief Information Officer) melaporkan telah mengimplementasikan kebijakan AI GRC secara penuh, sejalan dengan tren global dan Asia Pasifik. Ini menegaskan perlunya pendekatan yang lebih terstruktur dalam menangani aspek tata kelola AI yang kini menjadi prioritas utama bisnis di kawasan.
Tata kelola AI yang efektif membutuhkan kejelasan dalam prinsip etika, akuntabilitas, pengelolaan model, serta peningkatan privasi, keamanan, dan pengawasan manusia secara terintegrasi.
Sumir Bhatia, President Infrastructure Solutions Group, Lenovo Asia Pacific, prioritas bisnis di Asia Pasifik terus berkembang. Pada 2025, Governance, Risk, dan Compliance naik 12 peringkat menjadi prioritas utama, menyoroti fokus pada AI yang aman dan bertanggung jawab.
"Produktivitas karyawan juga meningkat dari peringkat ke-7 ke posisi ke-2, menunjukkan peran yang semakin krusial. Lenovo berkomitmen untuk membuat AI lebih mudah diakses, etis, berdampak, dan mendukung bisnis dari berbagai skala," imbuh Bhatia.
Semakin cepat adopsi GenAI
GenAI diperkirakan akan mengubah alur kerja perusahaan, dengan 42 perden pengeluaran untuk implementasi AI pada 2025 di ASEAN+ akan dialokasikan untuk teknologi ini:
- Di Asia Pasifik, operasi TI menjadi kasus penggunaan utama, sementara di ASEAN+, layanan pelanggan mendominasi.
- Ada lebih banyak fokus pada keamanan siber dan pengembangan perangkat lunak di Asia Pasifik.
- Sementara itu, di ASEAN+, operasi TI berada di peringkat ke-2, disusul oleh rekayasa/R&D yang menjadi prioritas.
Infrastruktur yang mendominasi

Laporan ini mengungkapkan bahwa 65 persen organisasi di Asia Pasifik memilih solusi on-prem atau hybrid untuk mendukung beban kerja AI. Preferensi ini didorong oleh kebutuhan akan lingkungan yang aman, latensi rendah dan fleksibilitas operasional. Sementara itu, 19 persen masih bergantung pada layanan cloud publik.
ASEAN+ mencerminkan tren serupa, dengan 68 persen menggunakan solusi hybrid atau on-prem, sementara sisanya bergantung pada cloud publik.
"Arsitektur hybrid menawarkan kombinasi terbaik dari skalabilitas dan kontrol. Secara global, 63 perden organisasi memilih infrastruktur on-premise dan hybrid untuk AI, dengan ASEAN+ mencatat tingkat adopsi yang lebih tinggi," ujar Budi Janto, General Manager, Lenovo Indonesia.
Menurutnya, hal ini mencerminkan fokus yang kuat pada inovasi sekaligus memastikan keamanan dan kepatuhan terhadap kebutuhan spesifik AI. Dengan solusi canggih yang menyeluruh, infrastruktur dan kemitraan strategis, Lenovo mendorong penerapan AI yang lebih cerdas.
Peningkatan produktivitas
AI PC semakin diminati di Asia Pasifik, dengan 43 persen organisasi melaporkan peningkatan produktivitas yang signifikan. Meskipun kesadaran terhadap teknologi ini meningkat, adopsinya masih berjalan lambat di berbagai pasar.
Di ASEAN+, 65 persen organisasi telah memasuki tahap perencanaan untuk mengadopsi PC berbasis AI. Seiring dengan semakin matangnya teknologi dan terbuktinya pengembalian investasi, laju adopsi diperkirakan akan semakin cepat, mendorong transformasi tempat kerja digital yang lebih luas.
Butuh keterampilan

Dengan semakin banyaknya organisasi yang memperluas upaya AI, 34 persen CIO di Asia Pasifik dan 44 persen CIO di ASEAN+ secara aktif memanfaatkan layanan AI profesional untuk mengatasi tantangan dalam manajemen data, keterbatasan talenta dan efisiensi biaya.
Menariknya, 56 persen CIO di ASEAN+ lainnya sedang menjajaki atau merencanakan penggunaan layanan ini dalam waktu dekat. Kolaborasi ini membantu mengatasi keterbatasan kemampuan internal, memungkinkan organisasi untuk lebih fokus pada peningkatan keterampilan tim serta membangun ketahanan jangka panjang.
Adopsi teknologi ini bukan hanya tentang keuntungan jangka pendek. Organisasi perlu berinvestasi dalam desain yang efisien, penerapan yang tepat dan integrasi solusi AI ke dalam operasional mereka untuk memastikan dampaknya dapat terukur.
Layanan AI profesional memainkan peran penting dalam membantu organisasi mengadopsi AI dengan sukses melalui pendekatan berbasis hasil. Solusi seperti Lenovo AI Fast Start semakin mempercepat proses ini, memungkinkan bisnis untuk dengan cepat melakukan uji coba, mengoptimalkan dan meningkatkan skala inisiatif AI dengan bimbingan ahli serta kerangka kerja yang telah teruji.