Mengenal Pause Numérique, Rehat Sejenak dari Hiruk Pikuk Media Sosial

Intinya sih...
- Aturan jeda digital diterapkan di Prancis mulai 2025 untuk membatasi penggunaan gadget dan akses jejaring sosial bagi siswa di bawah 15 tahun.
- Kebijakan "Pause Numérique" bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang lebih fokus, produktif, dan mengurangi dampak negatif media sosial.
- Penerapan kebijakan ini di perguruan tinggi juga mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa akan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Namun, ada pembatasan terhadap penggunaan HP selama perkuliahan berlangsung.
Penggunaan gadget disinyalir menjadi sumber distraksi yang memecah belah konsentrasi siswa ketika mengikuti pelajaran di kelas. Alih-alih memfokuskan perhatian pada materi pembelajaran, mereka justru lebih sering terpaku pada notifikasi yang masuk. Bahkan, intensitas penggunaan yang berlebihan dapat membuat siswa menjadi kurang responsif terhadap lingkungan sekitar dan sulit berkonsentrasi dalam memahami pelajaran.
Tenaga pendidik mungkin geram melihat tingkah laku siswa yang lebih sibuk menatap layar dibanding memperhatikan penjelasan guru di depan kelas. Tak heran bila performa akademik mereka pun menurun. Sementara interaksi sosial di lingkungan sekolah menjadi semakin berkurang.
Menyadari dampak negatif dari penggunaan gadget yang berlebihan, terutama di lingkungan sekolah, Pemerintah Prancis menerapkan kebijakan "Pause Numérique" atau 'rehat sejenak dari dunia digital' sebagai langkah eksperimental di berbagai sekolah dan perguruan tinggi sejak tahun ajaran 2024. Secara resmi, kebijakan ini akan diterapkan menyeluruh mulai Januari 2025.
Mengutip France Bleu, Menteri Pendidikan yang mengundurkan diri, Nicole Belloubet, mengumumkan bahwa "jeda digital" akan diuji coba di 199 institusi pendidikan percontohan sejak awal tahun ajaran 2024 yang mana mewajibkan siswa untuk meninggalkan HP mereka di pintu masuk sekolah dan harus dimatikan serta disimpan di dalam tas. Sebab, meskipun aturan sebelumnya telah melarang penggunaan telepon seluler di kelas, masih banyak siswa yang secara diam-diam tetap menggunakannya.
Lantas, apa sebenarnya konsep dari kebijakan "Pause Numérique" ini? Kemudian, sejauh mana efektivitasnya dalam membatasi penggunaan gadget di lingkungan sekolah? Simak pembahasan selengkapnya berikut ini!
1. Percobaan kebijakan "Pause Numerique" didasarkan atas pembatasan akses ke jejaring sosial bagi remaja di bawah usia 15 tahun
Kebijakan "Pause Numérique" yang diterapkan di beberapa sekolah bertujuan untuk membatasi penggunaan HP dan akses ke jejaring sosial bagi remaja, terutama yang berusia di bawah 15 tahun. Kebijakan ini merespons dampak negatif penggunaan HP yang berlebihan, yang dapat mengganggu konsentrasi belajar dan menyebabkan masalah sosial, seperti perundungan daring atau penyebaran konten negatif. Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan HP di kalangan remaja, terutama di luar jam sekolah dapat menurunkan kualitas interaksi sosial dan produktivitas belajar.
Salah satunya penelitian yang dilakukan Putri (2024) dalam Jurnal Ilmu Kesehatan Mandira Cendekia. Dalam hasil risetnya menghasilkan temuan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan dapat menyebabkan remaja menjadi lebih individualistis dan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Ketika remaja terlalu terpaku pada gadget, mereka mengabaikan dan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar, sehingga mungkin kehilangan pemahaman etika bersosialisasi melalui orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, pemerintah Prancis mengatur pembatasan ini untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih fokus dan produktif.
Melalui penerapan kebijakan ini, siswa diharapkan lebih terfokus pada pembelajaran di sekolah dan terhindar dari pengaruh negatif jejaring sosial. Keputusan ini juga berdasarkan rekomendasi komisi yang dibentuk oleh Presiden Emmanuel Macron yang mengusulkan pembatasan ketat penggunaan HP untuk anak-anak di bawah usia 15 tahun. Harapannya, kebijakan ini akan meminimalisasi dampak buruk media sosial sehingga remaja dapat belajar secara optimal tanpa gangguan dari perangkat digital.
2. Bagaimana implementasi "Pause Numerique" di perguruan tinggi?
Di perguruan tinggi, Pause Numérique justru menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Pada fase mahasiswa, umumnya mereka sudah berada dalam usia yang lebih dewasa dan bisa menggunakan teknologi secara lebih bijaksana. Namun, beberapa perguruan tinggi mulai mengadopsi pendekatan serupa dengan memberikan pedoman penggunaan HP di ruang kelas atau di area kampus tertentu. Misalnya, di beberapa perguruan tinggi, mahasiswa diminta untuk menonaktifkan HP mereka selama kuliah untuk mengurangi gangguan selama proses pembelajaran. Beberapa kampus bahkan menyediakan ruang khusus bagi mereka yang ingin menggunakan HP atau perangkat lainnya untuk tujuan tertentu, seperti belajar atau berkomunikasi dengan keluarga dalam situasi darurat.
Namun, penerapan kebijakan ini di perguruan tinggi juga harus mempertimbangkan kebebasan mahasiswa dan kebutuhan mereka akan teknologi untuk mendukung pembelajaran. Oleh karena itu, meskipun ada pembatasan terhadap penggunaan HP, ada juga pengecualian yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menggunakan perangkat tersebut dalam konteks pembelajaran, penelitian, atau kegiatan kampus lainnya. Misalnya, dosen dapat menentukan kebijakan di dalam kelas untuk membatasi penggunaan smartphone hanya untuk keperluan akademik, seperti pencarian informasi atau pencatatan materi. Sementara akses ke jejaring sosial tetap dilarang selama perkuliahan berlangsung.
Pendekatan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan konsentrasi, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, serta mendorong interaksi sosial yang lebih bermakna di lingkungan kampus. Meskipun kebijakan ini tidak seketat di tingkat sekolah menengah, adanya dorongan untuk mengurangi ketergantungan terhadap smartphone dalam konteks akademik dinilai sebagai langkah positif untuk membentuk budaya belajar yang lebih produktif.
3. Apa saja pengecualian dari kebijakan "Pause Numerique"?
Meskipun kebijakan "Pause Numérique" bertujuan untuk membatasi penggunaan smartphone dan akses jejaring sosial, terdapat beberapa pengecualian yang diberikan untuk situasi tertentu. Salah satu pengecualian yang diatur dalam undang-undang adalah bagi siswa dengan kebutuhan khusus, seperti yang memiliki gangguan kesehatan atau kondisi medis tertentu. Mereka dapat menggunakan perangkat elektronik untuk keperluan pengobatan atau pemantauan kesehatan, seperti anak-anak penderita diabetes yang memerlukan perangkat untuk mengontrol kadar gula darah. Selain itu, penggunaan HP juga diizinkan dalam keadaan darurat atau ketika siswa perlu menghubungi orang tua atau wali dalam situasi yang mendesak.
Selain itu, beberapa sekolah dan universitas mengizinkan penggunaan smartphone dalam konteks pembelajaran yang telah disetujui pengajar. Perangkat digital dapat digunakan untuk mencari referensi online, mengikuti kuis digital, atau berpartisipasi dalam proyek berbasis teknologi. Namun, setiap pengecualian ini harus diatur secara ketat oleh institusi agar penggunaan smartphone tetap terkendali dan tidak disalahgunakan, sesuai dengan tujuan utama kebijakan "Pause Numérique".
4. Eksperimen dan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan "Pause Numerique"
Eksperimen kebijakan "Pause Numérique" dimulai di lebih dari 199 sekolah di Prancis untuk menguji efektivitas pembatasan penggunaan HP dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif. Siswa diminta menyimpan HP mereka di kotak yang disediakan saat masuk sekolah dan baru dapat mengambilnya setelah jam sekolah selesai. Tujuan utama eksperimen ini adalah mengurangi gangguan akibat penggunaan HP dan meningkatkan fokus siswa dalam belajar serta mengurangi dampak negatif media sosial seperti perundungan daring dan penyebaran konten negatif.
Eksperimen ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan memperbaiki iklim sosial di sekolah. Namun, kebijakan ini menimbulkan perdebatan, terutama di kalangan orang tua dan siswa yang merasa pembatasan terlalu ketat. Melansir Le Monde dan Le Journal du Palais, beberapa wali murid khawatir kebijakan ini membatasi kebebasan siswa menggunakan teknologi untuk keperluan belajar atau komunikasi. Selain itu, ada kekhawatiran terkait tanggung jawab jika terjadi pencurian dari loker yang disediakan di sekolah. Ini menjadi masalah serius karena pihak sekolah dapat dimintai pertanggungjawaban jika terjadi kekurangan dalam pengamanan atau pengawasan. Meski peraturan internal menyebutkan bahwa siswa bertanggung jawab atas barang bawaan mereka, peraturan ini tetap bergantung pada situasi dan ketentuan setempat.
Orang tua atau siswa mungkin didorong untuk memiliki asuransi pribadi untuk barang-barang mereka. Namun, dalam hal ini, kewajiban menitipkan HP di loker berasal langsung dari Kementerian Pendidikan Prancis. Apabila terjadi kerusakan atau pencurian, siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah otoritas Pendidikan Nasional setempat yakin bakal bertanggung jawab atas insiden ini? Meski begitu, makin banyak sekolah yang mulai bergabung dalam eksperimen ini. Harapannya, evaluasi dampak jangka panjang terkait kebijakan ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas. Kebijakan ini bakal diterapkan lebih luas mulai Januari 2025.
Secara keseluruhan, kebijakan "Pause Numérique" membawa harapan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif sekaligus mendukung perkembangan siswa. Meski banyak tantangan dalam menghadapi ketergantungan generasi muda pada penggunaan gadget, eksperimen ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap kualitas pendidikan dan suasana sekolah. Di masa depan, kebijakan ini bisa menjadi inspirasi bagi berbagai negara yang berusaha menangani dampak negatif penggunaan gadget dalam dunia pendidikan sambil tetap menjaga kebutuhan untuk memanfaatkan teknologi dengan bijak. Diharapkan bahwa melalui eksperimen dan evaluasi yang komprehensif, kebijakan ini dapat terus disempurnakan untuk menciptakan keselarasan antara perkembangan digital dan keberhasilan pendidikan demi tercapainya sumber daya manusia yang berkualitas.