Pandemi Terpa Industri Operator Seluler, Butuh Regulasi Baru

Biaya tak sebanding dengan pendapatan

Beberapa waktu yang lalu operator seluler melakukan pertemuan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk membahas 'pandemi' yang menerpa mereka di mana salah satunya terkait regulatory charge.

Regulatory charge adalah biaya yang dibayarkan industri kepada pemerintah atas penggunaan frekuensi, yakni sebesar 12 persen dari pendapatan.

Masalah ini menjadi pembahasan dalam diskusi yang digelar Selular Business Forum (SBF) dalam tema "Lelang Spektrum 700 Mhz dan 26 Ghz, Upaya Mendorong Penetrasi 5G" di Jakarta, Senin (13/11/2023).

Pemerintah bentuk satgas

Pandemi Terpa Industri Operator Seluler, Butuh Regulasi BaruWakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Merza Fachys (IDN Times/Misrohatun)

Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Merza Fachys menyebutkan bahwa saat ini akses telekomunikasi sudah semakin beragam, tidak hanya layanan suara dan SMS saja.

"Industri berubah pesat dalam 10 tahun terakhir. Tadinya hanya layanan suara, tapi sekarang mayoritas berbasiskan internet. Namun untuk menyiapkan infrastrukturnya juga berbeda dari zaman dulu," ujarnya.

Dia menjelaskan ada ancaman dalam pengembangan layanan di Indonesia. Saat ini rasio BHP (biaya hak penggunaan) Frekuensi terhadap pendapatan kotor operator seluler secara industri sangat tinggi, nyaris menyentuh 12 persen, lebih tinggi dibandingkan data global (7 persen) dan APAC (8,7 persen) sehingga berada pada kondisi tidak sehat dan bisa mengancam keberlangsungan usaha

Pertumbuhan operator seluler saat ini tidak sehat dengan regulatory charge sekitar 12 persen di mana seharusnya di bawah 10 persen. Untuk menambah pemasukan, operator seluler sebenarnya bisa 'berjualan' jaringan 5G. Namun sayangnya jaringan generasi kelima ini seperti masih jalan di tempat, terlebih pemerintah belum melakukan lelang spektrum 700Mhz dan 26Ghz.

Padahal industri bisa memonetisasinya dengan berbagai use case. ATSI telah melakukan kajian yang berkolaborasi dengan APJII, Apjatel, dan Askalsi, menggaet konsultan terkait dengan rasionalisasi PNBP dan perizinan yang kemudian disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Di sisi lain, pertumbuhan pendapatan operator seluler juga tidak seperti masa jayanya dahulu. Ini yang wajib diperhatikan pemerintah supaya operator seluler yang menjadi tulang punggung perekonomian digital tidak menjadi korban,” imbuh Merza.

Secara CAGR (peningkatan pertumbuhan per tahun), industri operator seluler pada periode 2013–2022 hanya tumbuh 5,69 persen, jauh lebih kecil dibandingkan tren peningkatan BHP Frekuensi yang mencapai 12,1persen, sehingga akan membebani keuangan operator dan berdampak pada kemampuan untuk berinvestasi serta operasional.

Atas masalah-masalah yang mereka alami, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi kemudian membentuk task force (satuan tugas/satgas) dan joint planning.

Kementerian Kominfo juga dikatakan tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi 700 MHz dan 26 GHz. Kedua spektrum dapat digunakan untuk mendukung layanan mobile broadband, khususnya mendorong penetrasi 5G.

Baca Juga: Revolusi 5G, Jaringan Seluler yang Mengubah Cara Berinteraksi

Masukan agar tidak lagi boncos

Pandemi Terpa Industri Operator Seluler, Butuh Regulasi BaruSelular Business Forum (SBF) (IDN Times/Misrohatun)

Merza mengutip kajian yang dilakukan GSMA berjudul Sustainable Spectrum Procing to Boost Indonesia's Digital Economy. Berikut poin-poin masukan kepada pemerintah:

  1. Untuk lelang pita spektrum baru yang akan datang, harga harus ditetapkan secara konservatif di bawah perkiraan nilai pasar. Hal ini akan memberikan ruang bagi peserta lelang dan mengurangi risiko spektrum yang tidak terjual.
  2. Rumus penghitungan biaya spektrum tahunan (BHP IPFR) harus ditinjau ulang, dan penyesuaian parameter harus dipertimbangkan untuk memberikan insentif jangka panjang yang tepat dan menghindari kenaikan biaya yang tidak proporsional serta tidak selaras dengan kondisi pasar yang terus berkembang.
  3. Memastikan peta jalan spektrum yang jelas, yang tidak hanya mempertimbangkan perencanaan pita frekuensi saat ini namun juga kebutuhan jangka panjang bagi Indonesia, khususnya pita frekuensi menengah pada jangka waktu 2025-2030. Kepastian ketersediaan spektrum sangat penting untuk operator merencanakan investasi, mengamankan pembiayaan dan mengembangkan strategi untuk penyebaran jaringan dan pemberian layanan.

"Untuk menghindari adanya biaya yang terus naik, maka GSMA memberi rekomendasi untuk meninjau kembali harga yang harus dibayar penggunaan frekuensi, agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan dan renewable perkembangan digital dengan sangat maksimal," imbuhnya.

Pemerintah godok aturan lelang

Pandemi Terpa Industri Operator Seluler, Butuh Regulasi BaruDenny Setiawan, Direktur Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo (IDN Times/Misrohatun)

Dalam kesempatan yang sama, Denny Setiawan, Direktur Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo menyebut mereka menyadari permasalahan yang ada dalam operator seluler di Indonesia.

“Menteri Kominfo sudah bertemu para CEO operator seluler, sudah berproses untuk menyiapkan sejumlah aturan yang tidak memberatkan siapapun dan tidak menurunkan kualitas layanan seluler maupun internet kita,” ujarnya.

Sementara untuk mencapai 5G, hal yang pertama akan mereka lakukan dengan melelang spektrum 700 Mhz dan 26 Ghz yang sedang pemerintah godok peraturannya. Tapi dia belum bisa menyebutkan waktu pelelangan.

Sementara itu, Sigit Puspito Wigati Jarot, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel (Masyarakat Telekomunikasi) menyebut ada tiga isu penting dalam lelang spektrum, yaitu:

  1. Harganya harus terjangkau. 
  2. Idealnya hanya satu pemenang, tetapi pemenang wajib sharing kepada yang lainnya.
  3. Pengalaman pengguna yang menyenangkan menggunakan 5G.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut teknologi 5G memiliki potensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) manufaktur global sebanyak 4 persen atau di bawah USD 740 miliar. Hal ini jadi peluang bagi dunia teknologi untuk implementasi jaringan teknologi 5G.

Baca Juga: Kominfo Surati Operator Seluler, Beri Warning soal Judi Online

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya