Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Saat AI, Bahasa Lokal, dan Data Jadi Perhatian di CTRL+J APAC 2025

acara CTRL+J APAC 2025
acara CTRL+J APAC 2025 (IDN Times/Fatkhur Rozi)
Intinya sih...
  • Konferensi CTRL+J APAC 2025 membahas keadilan, inklusivitas, dan ekosistem media yang beragam
  • Jurnalisme harus beradaptasi dengan tren digital tanpa mengorbankan integritas
  • Pentingnya bahasa lokal, regulasi yang adil, dan perlindungan konten dalam era AI

Hari kedua konferensi CTRL+J APAC 2025 yang digelar pada 23 Juli 2025 berlangsung seru. Diskusi berlangsung mengalir dan terasa lebih mendalam. Jika hari pertama fokus pada kolaborasi di tengah ancaman dan peluang AI, hari kedua ini diisi dengan diskusi soal bagaimana memastikan teknologi tersebut bisa adil, inklusif, dan dapat digunakan untuk memperkuat ekosistem media yang beragam.

Dihelat oleh AMSI, AJI, dan IFPIM, CTRL+J APAC 2025 bertujuan merumuskan strategi regional untuk memperkuat jurnalisme publik di tengah gelombang kecerdasan buatan. Kegiatan yang diselenggarakan pada 22–24 Juli 2025 di Hotel Le Meridien, Jakarta ini mengumpulkan jurnalis, penggiat media, akademisi, dan tech platform. Hari kedua konferensi menjadi wadah diskusi penting tentang tantangan bias data, peran bahasa lokal, hingga strategi kompensasi yang adil bagi penerbit di era digital.

Masa depan jurnalisme yang perlu berubah medium

Panel “Preparing the Future: The State of Play in APAC” dibuka dengan pemaparan Jacque Manabat, jurnalis multimedia asal Filipina. Ia membagikan pengalamannya sebagai “newsfluencer” di TikTok, dengan tetap menjunjung prinsip jurnalistik seperti verifikasi dan disiplin fakta. Format boleh berubah, tapi integritas tetap dijaga.

“Kami masih melakukan pekerjaan dengan metode jurnalistik, hanya saja dengan bentuk penceritaan yang berbeda,” kata Jacque.

Lebih lanjut Jacque menjelaskan bahwa penceritaan yang berbeda ini harus mengikuti trend yang ada. Jurnalis harus mengikuti di mana audiens mendapatkan informasinya. Ia juga mengatakan bahwa ini memang tantangan yang cukup berat, namun Jacque meyakini bahwa berubah (mengikuti audiens) itu harus agar informasi yang benar tersampaikan dan dapat diterima dengan baik oleh audiens.

Di sesi yang sama, peneliti Kyoto University, Irendra Radjawali, menyoroti bias dalam data yang digunakan oleh sistem AI. Menurutnya, sebagian besar data dilatih oleh dan untuk masyarakat Barat. “Data yang dimasukkan ke dalam AI sangat bias karena sebagian besar dibuat oleh programmer kulit putih dan Barat,” ungkap Irendra.

Hal ini membuat AI tidak sepenuhnya netral, apalagi ketika digunakan dalam konteks negara-negara Global South. “Jadi sebenarnya tidak lengkap dan serba tahu seperti yang kita asumsikan,” Imbuhnya.

Mendorong regulasi yang adil bagi semua pelaku jurnalistik

acara CTRL+J APAC 2025 (dok. CTRL+J APAC)
acara CTRL+J APAC 2025 (dok. CTRL+J APAC)

Dalam sesi panel bertema “Compensation Strategies”, Wakil Ketua Public Interest Publishers Alliance Australia, Nelson Yap, memaparkan kebijakan negaranya.

“Jurnalisme adalah infrastruktur publik yang sangat penting dan pemerintah Australia mengakui hal ini. Pada 2025, pemerintah Australia mendistribusikan dana hibah sebesar $99 juta untuk organisasi berita selama tiga tahun,” ungkap Nelson.

Tak hanya itu, Pemerintah Australia juga menerapkan news bargaining code yang mewajibkan platform seperti Google dan Meta bernegosiasi dengan penerbit. Meski begitu, Nelson juga menyinggung dinamika global. Salah satunya adalah tekanan dari Amerika Serikat terhadap negara-negara yang berani mengatur raksasa teknologi. Ia menyebut tantangan ini sebagai bukti bahwa sektor media perlu memperkuat posisi tawarnya secara kolektif, apalagi di kawasan Asia–Pasifik.

“News Bargaining Initiatives mendorong platform digital untuk masuk atau memperbarui kesepakatan dengan penerbit berita. Pada saat yang sama, Amerika mengancam akan memperlakukan tarif tambahan atau tarif yang lebih tinggi di Australia karena kami mengatur teknologi, sementara perusahaan-perusahaan teknologi menjarah organisasi-organisasi berita di Australia,” imbuhnya.

Bahasa daerah dan keadilan algoritma

Topik yang tak kalah menggugah datang dari panel “Amplifying Diverse Voices” yang fokus pada pentingnya peran bahasa lokal agar jurnalisme berjalan dengan lebih baik. Shalini Joshi, Program Director for Training and Network Meedan, mengungkap bahwa AI fact-checker kini tersedia dalam 31 bahasa Asia. Adanya beragam pilihan bahasa tersebut akan membantu media dan organisasi masyarakat sipil dalam memperluas artikel. Sementara itu, Dr. Leslie Teo, Senior Director of AI Product AI IG, memperkenalkan SEA-Lion, model bahasa besar (LLM) yang mendukung bahasa lokal, termasuk Jawa, Ambon, dan bahasa-bahasa lokal lainnya.

Peneliti ITB, Ayu Purwarianti, memperkenalkan proyek Nusa Dialogue, sebuah inisiatif dokumentasi bahasa daerah Indonesia melalui penutur asli. Tujuannya bukan hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga agar AI di masa depan dapat memahami konteks lokal yang lebih beragam.

Pentingnya menjaga akses dan hak penerbit

acara CTRL+J APAC 2025 (dok. CTRL+J APAC)
acara CTRL+J APAC 2025 (dok. CTRL+J APAC)

Sesi "Publisher’ Preparedness and Engagement Strategy in the Era of AI" juga berlangsung dengan seru. Executive Director of Nucleo Journalismo, Sergio Spagnuolo dari Brasil menyebut bahwa kebanyakan situs media Indonesia dan Brasil belum membatasi akses bot AI terhadap kontennya.

Sergio menyebut bahwa baru 5–6 persen situs yang menggunakan file robot.txt, sedangkan proporsinya 35 persen di Amerika Serikat. Untuk itu, timnya tengah mengembangkan alat otomatis agar publisher bisa lebih mudah mengontrol konten mereka.

“Kami akan segera merilis sebuah alat untuk penerbit menghasilkan file robot.txt anda sendiri, untuk membantu Anda memblokir bot apapun yang ingin anda blokir,” katanya.

Senada dengan itu, Matt Prewitt dari RadicalxChange Foundation menegaskan pentingnya lisensi dan proteksi konten. Ia mengajak jurnalis dan penerbit untuk menyusun strategi negosiasi kolektif terhadap perusahaan teknologi, agar tidak hanya menjadi objek dari eksploitasi data.

“Mereka harus mengumpulkan kekuatan untuk bernegosiasi dengan perusahaan teknologi dalam hal akses AI dan bagaimana informasi dapat dibagikan.  Tidak mengontrol akses terhadap konten Anda akan mengakibatkan penurunan dukungan pasar lebih lanjut untuk organisasi media,” ungkapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us