Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perusahaan manufaktur
ilustrasi perusahaan manufaktur (freepik.com/Drazen Zigic)

Intinya sih...

  • MIT menemukan bahwa AI mampu mengambil alih tugas setara dengan 151 juta pekerja di Amerika Serikat dengan biaya operasional yang lebih kompetitif.

  • AI dapat mengerjakan banyak tugas kognitif dan administratif di berbagai sektor, potensi nilai upah mencapai 1,2 triliun dolar AS atau lima kali lebih besar dari dampak yang terlihat sekarang.

  • Penggunaan AI tidak menyebabkan PHK besar-besaran, perusahaan yang mengadopsi AI cenderung mengalami pertumbuhan pendapatan dan penambahan jumlah tenaga kerja.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kekhawatiran bahwa AI akan memasuki wilayah pekerjaan yang selama ini ditangani manusia mulai menunjukkan bukti nyata. Studi terbaru dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menunjukkan bahwa sistem AI kini cukup maju dan efisien untuk mengambil alih tugas yang setara dengan beban kerja 151 juta pekerja di Amerika Serikat. Riset tersebut menyoroti jenis pekerjaan yang bisa dieksekusi AI pada kualitas serupa, tetapi biaya operasionalnya lebih kompetitif atau bahkan lebih rendah daripada tenaga manusia.

Temuan MIT ini menegaskan bahwa diskusi mengenai otomatisasi tidak lagi sebatas kemampuan teknologi, tetapi juga pertimbangan ekonominya. Laporan tersebut memperlihatkan bahwa perubahan pola kerja akibat adopsi AI bukan sekadar prediksi jangka panjang, melainkan proses yang sedang berlangsung. Berikut sejumlah implikasi penting dari studi MIT terhadap perkembangan AI yang semakin meluas dalam beberapa tahun terakhir.

1. MIT memperkirakan bahwa nilai upah dari porsi pekerjaan tersebut mencapai Rp19.900 triliun

ilustrasi karyawan sedang mendiskusikan temuan data (pexels.com/Kindel Media)

Melansir Fortune, Selasa (2/12/2025), studi MIT yang disusun pada Oktober 2025 lalu memperkirakan bahwa teknologi AI saat ini cukup matang untuk mengambil alih tugas setara 11,7 persen pasar tenaga kerja Amerika Serikat atau setara 151 juta pekerja. Estimasi nilai upah dari porsi kerja yang dapat diotomatisasi tersebut mencapai 1,2 triliun dolar Amerika Serikat atau setara Rp19.900 triliun. Tidak seperti penelitian sebelumnya yang hanya menilai tingkat "potensi terdampak," studi MIT kali ini secara langsung menghitung pekerjaan yang dapat dijalankan AI dengan biaya yang lebih efisien daripada tenaga manusia. Pendekatan tersebut memberi sudut pandang baru terkait kesiapan pasar kerja menghadapi teknologi.

Salah satu pilar utama temuan MIT berasal dari Project Iceberg, sebuah sistem simulasi tenaga kerja berskala nasional yang dikembangkan bersama Oak Ridge National Laboratory. Platform ini berfungsi sebagai digital twin pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang memodelkan 151 juta pekerja sebagai agen individual yang punya keterampilan, jenis pekerjaan, dan lokasi geografis tertentu. Sistem tersebut memetakan lebih dari 32.000 keterampilan dalam 923 kategori pekerjaan sehingga menyajikan representasi yang jauh lebih detail mengenai kecocokan antara kemampuan AI dan kebutuhan kompetensi manusia. Hasilnya, analisis tidak lagi bertumpu pada asumsi luas, tetapi pada data faktual yang mencerminkan kondisi pasar kerja secara mendalam.

Para peneliti kemudian menghubungkan hasil simulasi tersebut ke kemampuan aktual AI modern untuk menentukan tugas-tugas yang dapat ditangani mesin dengan biaya lebih efisien. Ruang lingkupnya mencakup kemampuan bahasa, analisis data, pekerjaan administratif, hingga tugas kognitif lain yang kini menjadi kekuatan utama AI. Prasanna Balaprakash, perwakilan dari Oak Ridge National Laboratory, digital twin tersebut menawarkan perspektif baru untuk memahami efek otomatisasi tanpa harus menunggu dampaknya muncul di dunia nyata. Pendekatan ini menjadikan Project Iceberg alat strategis bagi pembuat kebijakan dan pemimpin industri dalam merancang respons terhadap transformasi pasar kerja.

2. MIT menemukan bahwa AI mampu mengerjakan banyak tugas kognitif dan administratif di berbagai sektor

ilustrasi pekerja tech sedang menggarap coding (unsplash.com/charlesdeluvio)

MIT menegaskan bahwa angka 11,7 persen bukan prediksi bahwa pekerjaan tersebut akan hilang dalam waktu dekat. Persentase tersebut lebih menggambarkan sejauh mana AI sudah mampu mengambil alih suatu tugas secara teknis dan apakah biaya penggunaannya cukup efisien dibanding tenaga manusia. Artinya, ada jarak antara kemampuan teknologi dan keputusan bisnis untuk benar-benar mengadopsinya. Kapabilitas AI yang tinggi pun tidak otomatis diterapkan secara luas karena faktor seperti kesiapan infrastruktur, budaya organisasi, hingga regulasi turut menentukan.

Saat ini, penerapan AI paling terlihat pada pekerjaan teknologi seperti coding. Namun, porsi nilai upah yang terdampak masih sekitar 2,2 persen. Meski begitu, simulasi MIT menunjukkan bahwa AI sebenarnya mampu menangani serangkaian tugas administratif dan kognitif yang potensi nilainya mencapai 1,2 triliun dolar Amerika Serikat atau lima kali lebih besar dibanding dampak yang tampak sekarang. Sektor yang paling berpotensi terpengaruh mencakup keuangan, administrasi kesehatan, logistik, HR, dan layanan profesional seperti akuntansi dan legal. Temuan ini menunjukkan bahwa sejumlah pekerjaan yang sebelumnya dianggap aman dari otomatisasi Ai justru berada dalam posisi yang lebih riskan.

3. Temuan MIT menunjukkan bahwa penggunaan AI tidak menyebabkan PHK besar-besaran

ilustrasi bot kecerdasan buatan (AI) (unsplash.com/Mohamed Nohassi)

Salah satu poin penting dalam temuan MIT adalah bahwa meskipun AI secara teknis mampu mengerjakan banyak tugas manusia, hal itu tidak serta-merta memicu gelombang PHK besar-besaran. Banyak perusahaan masih menilai biaya implementasi AI, integrasi sistem, dan perubahan proses kerja lebih besar dibanding manfaat langsungnya. Dalam banyak kasus, perusahaan memilih menggunakan AI sebagai alat peningkat produktivitas, bukan sebagai pengganti tenaga kerja secara penuh. Ini menciptakan pola di mana manusia dan AI bekerja berdampingan, bukan saling meniadakan.

Penelitian lain dari MIT Sloan juga menemukan bahwa perusahaan yang mengadopsi AI cenderung mengalami pertumbuhan pendapatan dan bahkan penambahan jumlah tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi lebih sering menciptakan peluang baru daripada menghilangkan pekerjaan yang ada. Dalam beberapa skenario, otomatisasi justru membuka peran baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Dengan demikian, temuan tersebut memberikan perspektif yang lebih seimbang bahwa AI bukan hanya ancaman, tetapi juga pendorong pertumbuhan ekonomi.

4. Implikasi temuan studi terhadap pemerintah dan perusahaan

ilustrasi teknisi IT mempresentasikan model AI buatannya (freepik.com/DC Studio)

Iceberg Index bukan dibuat untuk meramalkan siapa yang akan terdampak kehilangan pekerjaan, melainkan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana berbagai tingkat otomatisasi dapat mengubah struktur pasar tenaga kerja. Melalui simulasi tersebut, pembuat kebijakan dapat menguji sejumlah skenario, termasuk efek program pelatihan, investasi keterampilan baru, atau kebijakan regulasi terhadap kondisi kerja di masa mendatang. Sejumlah negara bagian seperti Tennessee, North Carolina, dan Utah sudah mulai memanfaatkan platform ini untuk memetakan kebutuhan kompetensi baru sekaligus menyiapkan rencana aksi tenaga kerja berbasis AI. Langkah ini menegaskan bahwa pemerintah daerah mulai bergerak serius dalam membaca dampak nyata dari otomatisasi.

Bagi dunia usaha, temuan ini menjadi pengingat bahwa era ketika Ai dianggap isu jangka panjang sudah lewat. Transformasi berbasis teknologi telah berlangsung dan perusahaan yang tidak beradaptasi berisiko tertinggal dari pesaing yang lebih cepat dalam memanfaatkan otomatisasi. Organisasi perlu mengevaluasi ulang strategi pengembangan talenta, memetakan tugas yang bisa diperkuat oleh AI, dan memastikan infrastruktur internal siap menerima integrasi teknologi tersebut. Melalui langkah proaktif, perusahaan dapat mengurangi potensi hambatan sekaligus memaksimalkan manfaat Ai untuk mendukung pertumbuhan bisnis.

Studi MIT juga menegaskan bahwa AI mampu menyelesaikan bagian penting dari pekerjaan manusia, terutama dalam lingkup administratif dan kognitif. Meski demikian, kemampuan teknis ini tidak secara otomatis berarti munculnya gelombang pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa teknologi sering kali justru membuka peran baru serta mempercepat perkembangan organisasi. Tantangan utama bukan lagi apakah perubahan itu akan datang, melainkan apakah pemerintah, pelaku usaha, dan tenaga kerja siap beradaptasi. Pada akhirnya, arah pasar kerja masa depan akan sangat ditentukan oleh kemampuan manusia menavigasi era kecerdasan buatan yang terus berkembang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team