Produk AS Bebas Bea Masuk, Jalan Mulus Apple di Indonesia?

- Relaksasi tarif impor membuka peluang produk AS masuk, namun Indonesia perlu membangun ekosistem industri yang kuat untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
- Efisiensi biaya dalam produksi dan distribusi menjadi faktor penentu utama bagi peningkatan pangsa pasar Apple di Indonesia, bukan hanya tarif impor rendah.
- Android masih mendominasi. Produk dari China tetap menjadi pesaing tangguh dengan harga kompetitif dan efisiensi produksi tinggi. Masyarakat Indonesia juga semakin memilih produk berdasarkan fungsionalitas dan nilai.
Dalam lanskap telekomunikasi Indonesia yang terus berkembang, kebijakan tarif impor baru kembali menjadi sorotan. Kali ini, perhatian tertuju pada bagaimana aturan anyar ini mungkin membuka jalan lebih lebar bagi raksasa teknologi seperti Apple di pasar Tanah Air.
Namun, benarkah kebebasan tarif akan serta-merta melambungkan dominasi Apple atau justru memicu dinamika persaingan yang lebih kompleks dan menantang industri lokal? Wawancara IDN Times dengan pengamat telekomunikasi, Agung Harsoyo mengungkap perspektif menarik, menyoroti bahwa di balik kebijakan ini tersimpan pelajaran penting.
Efesiensi vs pangsa pasar

Meskipun produk jadi seperti iPhone umumnya memiliki tarif impor yang rendah, Agung menjelaskan bahwa hal ini belum tentu menjadi faktor penentu utama peningkatan pangsa pasar Apple di Tanah Air.
"Kalau setahu saya, hampir semua barang jadi itu kan sangat rendah (pajaknya). Namun efisiensi biaya dalam keseluruhan struktur produksi dan distribusi jauh lebih krusial. Hanya nanti, ini kan urusan efisiensi. Jadi kalau secara natural dia mau dibebasin atau apapun (bea masuk), itu kaitannya dengan cost structure yang menjadi determinan," kata Agung di Jakarta, pada Rabu (16/0/2025).
Misalnya, Samsung yang mendirikan pabrik di Indonesia demi meningkatkan efisiensi dan daya saing. Namun, pada akhirnya, China tetap dianggap lebih efisien dalam masalah produksi. Logika ini berlaku pula untuk Apple.
"Maka dugaan saya, kalau ke depan ini seandainya pun dia dibebaskan macam-macam, saya nggak yakin akan menaikkan pangsa pasar. Kalau menurut saya, ya," tambahnya.
Android masih mendominasi
Kekuatan produk dari negeri TIrai Bambu yang sudah ada, dengan harga lebih kompetitif dan efisiensi produksi yang tinggi, akan tetap menjadi pesaing tangguh. Selain itu, basis penggemar Apple di Indonesia, meskipun loyal, relatif terbatas jika dibandingkan dengan segmen pasar yang lebih luas.
"Kalau Apple itu kan sebetulnya relatif terbatas penggemarnya—Apple fanboy. Tapi sebagian besar masyarakat kita kan tidak begitu," ujar Agung.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah perilaku masyarakat Indonesia yang semakin kebal terhadap mitos atau daya tarik merek semata. Fenomena ini, yang disebut Agung sebagai "demokratisasi ilmu maupun teknologi", di mana konsumen kini lebih cerdas dan cenderung memilih produk berdasarkan fungsionalitas dan nilai yang ditawarkan, bukan sekadar merek atau iklan.
"Tapi masyarakat kita, itu saya perhatikan, makin lama makin kebal terhadap tahayul. Karena setahu saya kalau dari sisi jumlah, tetap di dunia ini lebih banyak Android dibanding iOS. Kira-kira begitu," dia menjelaskan.
Kompromi "fair" ala Apple

Di tengah persaingan pasar yang ketat, hubungan antara Apple dan Indonesia juga mencerminkan sebuah "kompromi yang fair". Apple dengan basis pelanggan dominan di Indonesia, telah menempatkan investasi dalam bentuk pusat riset dan pengembangan (R&D), bahkan memproduksi aksesori seperti AirTag di Tanah Air.
Namun, di balik kompromi ini, terhampar tantangan besar bagi Indonesia terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Meskipun ada investasi awal yang lebih tinggi, porsi produksi yang ada di negara kita masih terbilang kecil.
"Ini tugas pemerintah membuat talenta yang nantinya bisa membuat SDM kita setara dengan pekerja di Foxconn, yang mempu bekerja tanpa henti dan teliti. Jadi investasi ini menurut saya adalah hal baik yang sudah dimulai, hanya kalau bagi kita sepertinya belum fair karena terlalu kecil, kan. Tapi menurut saya nanti pemerintah akan melakukan evaluasi," imbuhnya.
Belajar dari negara lain menjadi krusial. Vietnam adalah contoh nyata bagaimana sebuah negara mampu menarik relokasi investasi dari China. Negara tetangga itu berhasil membentuk ekosistem yang memenuhi kualifikasi dan kebutuhan investasi Apple.
"Vietnam mereka memang konsentrasi untuk itu. Bagaimana mereka membentuk satu ekosistem yang kemudian Apple bisa invest dan terpenuhi kualifikasi mereka. Kalau menurut saya kita mesti mempersiapkan diri belajar, terutama dari Vietnam. Karena dari Cina juga pindahnya ke Vietnam, bukan ke Indonesia," pungkas Agung.
Penjelasannya menggarisbawahi pentingnya perbaikan multibidang di Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang menarik bagi investasi manufaktur teknologi global.