Kemdikbud Tetapkan 3 Warisan Budaya Tak Benda Milik Aceh, Apa Saja?
Ada 37 karya budaya warisan millik Aceh telah ditetapkan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Banda Aceh, IDN Times - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan tiga karya budaya asal Provinsi Aceh. Penentuan tersebut dilakukan dalam Sidang Penetapan Warisan Budaya yang digelar secara virtual pada Jumat (9/10/2020).
“Tiga warisan budaya tak benda asal Aceh yang baru ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia yaitu, Rapai Bubee, Keunenong, dan Peusijuek,” kata Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh dan Sumatera Utara, Irini Dewi Wanti, saat dikonfirmasi IDN Times, Selasa (20/10/2020).
Selain tiga karya budaya dari Tanah Rencong, sidang tersebut juga menetapkan 132 karya budaya lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Ditetapkannya tiga karya budaya asal Aceh menambah jumlah warisan budaya tak benda milik provinsi paling barat Indonesia ini, yakni menjadi 37 karya budaya yang telah ditetapkan.
Berikut ulasan singkat mengenai tiga warisan budaya tak benda asal Aceh meliputi Rapai Bubee, Keunenong, dan Peusijuek.
1. Rapai Bubee (Bubu)
Rapai Bubee merupakan salah satu pertunjukan kesenian tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Kesenian ini biasanya digelar dengan musik dari suara rapai dan melakukan gerakan memainkan bubee (bubu untuk menangkap ikan).
Salah satu kesenian yang sudah ada sejak zaman nenek moyang ini awalnya hanya dimainkan oleh 12 orang dan diiringi satu alat musik bernama rapai kaoy. Lamban laun, musik pengiring berupa rapai ditambah enam unit lagi, sehingga menciptakan tujuh jenis irama menarik ketika dipukul.
Rapai Bubee biasanya berisi syair ayat Al-Qu'ran dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Rapai kaoy ini berfungsi untuk mengusir makhluk halus dan dimanfaatkan untuk peunawa (obat) bagi orang sakit. Tidak ada gerakan tari dalam penampilan rapai kaoy, mereka hanya menabuh Rapai.
Pertunjukan ini diceritakan memiliki unsur mistis, yakni Bubee (bubu) yang digerakkan makhluk halus (jin pari). Dahulu, kesenian ini hanya ditampilkan di pekarangan rumah dan tempat terbuka saja dengan tujuan menarik perhatian masyarakat sebagai hiburan semata.
Kini Rapai Bubee merupakan kesenian tradisonal yang dimainkan 13 orang dan maksimal 21 orang, terdiri dari 14 penabuh rapai, satu khalifah, dua sampai lima sebagai pemain, dan satu orang syeh. Kesenian ini biasanya dimainkan oleh pemain berusia di atas 30 tahun.
Gerakan Rapaii Bubee dominan dengan gerakan kaki dan tangan yang tidak terpaku pada hitungan. Gerakan pemain dibagi dalam lima bagian, yakni gerakan salam, breuh lam aree (tempo lambat), jeuee (tempo sedang) bubee dalam tempo cepat, dan salam penutup.
Sementara itu, khalifah sebagai pemimpin musik iringan tabuhan rapai yang menentukan mulai dan mengakhiri pertunjukan. Pertunjukannya berlangsung selama 10-30 menit di luar ruangan.
Untuk aksesoris pertunjukan, pemain menggunakan pakaian, celana hingga peci hitam, meski sesekali pawang akan menggunakan peci putih serta songket berwarna seragam.
Editor’s picks
Properti lainnya yang digunakan untuk pertunjukan ini antara lain tika iboeh (tikar pandan), bulukat tumpoe (nasi pulut putih), seneujeuk (tepung tawar), rapai, aree (mok bambu), breuh (beras) aweeuk (centong), jeuee (tampah), dan bubee (bubu).
Baca Juga: 10 Potret Kaldera Toba yang Resmi Menjadi UNESCO Global Geopark
Baca Juga: Duh, 10 Destinasi Situs Warisan Dunia UNESCO Ini Terancam Punah Lho!