Tsunami di Selat Sunda merupakan pertanda bahwa bencana alam bisa terjadi di mana saja. Siapa yang mengira hal tersebut bisa terjadi di kawasan selat yang notabene-nya hampir tidak mungkin terjadi.
"Faktor penyebab tsunami adalah longsoran bawah laut yang disebabkan aktivitas Gunung Anak Krakatau, yang kebetulan terjadi bersamaan dengan gelombang pasang karena bulan purnama," tutur Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, dalam jumpa pers di kantor BPBD, Yogyakarta, kemarin (23/12).
Aktivitas Gunung Anak Krakatau sendiri bagai bom waktu alami. Pasalnya, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rudy Suhendar, Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi. Artinya, gunung ini membangun tubuhnya hingga besar sejak kemunculannya pada 2013.
"Pada 2016, Gunung Anak Krakatau meletus pada 20 Juni. Sejak saat itu sampai sekarang, letusan Gunung Anak Krakatau berupa eksplosif lemah (strombolian)," kata Rudy dalam keterangan pers yang diterima IDN Times, Minggu, (23/12)
Hingga saat ini, kondisi Gunung Anak Krakatau terlihat memperihatinkan. Berikut gambaran kondisi terkini yang IDN Times rangkum dari berbagai sumber.