Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam Terbuka

Beranjak dari kamp untuk komunitas literasi

Aceh Besar, IDN Times - Kidung ‘Teman Hidup’ -dipopulerkan oleh Tulus- menggema lembut dari pengeras suara yang ada di dalam sebuah balai bekas kandang lembu. Senandungnya terdengar sayup di antara desiran angin, namun mampu menembus ke telinga.

Berteman kopi arabika varian tebu, aku sesekali larut dan mengikuti bait-bait yang didendang penyanyi solo pria Indonesia kelahiran Bukittinggi, Sumatra Barat tersebut, sambil menikmati sore berselimut nimbostratus.

Aku tak sendiri menikmati ketenangan di lahan seluas tak sampai dua hektar yang berlantai rerumputan ini. Ada juga beberapa pengunjung lainnya yang duduk di kursi dan meja berbahan bekas batang-batang pohon yang telah didekor sedemikian rupa. Mereka larut dalam tawa, canda, dan perbincangan dunia, namun ada pula di antaranya yang menyibukkan diri memasak menggunakan peralatan tradisional dengan perapian kayu.

Kamp Biawak, itulah nama tempat yang sedang kusambangi ini. Sebuah kafe dengan konsep alam terbuka yang terletak di bantaran Sungai Lamnyong. Lebih tepatnya, kafe milik Iskandar, ini berada di Gampong Limpok, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.

Tempat ini terbilang baru. Suami dari Asmaul Husna Arif tersebut memulai bisnis minuman dan makanan di kafe yang ia kelola saat ini pada September 2019 silam. Tentunya, ia tak sendiri merintisnya, Iskandar dibantu dua rekannya, yakni Iqbal dan Riza.

Lalu bagaimana proses berdirinya Kamp Biawak yang kini mulai trand di kalangan anak muda maupun yang telah berkeluarga? Berikut IDN Times mengisahkan dari hasil wawancara dengan pria kelahiran Blang Jruen, Kecamatan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara, 36 tahun silam.

1. Kamp Biawak berawal dari tempat komunitas literasi membedah dan berdiskusi tentang buku

Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam TerbukaKomunitas Kamp Biawak dan The Aceh Institute menggelar diskusi publik terkait manfaat ganja, di Kamp Biawak (IDN Times/Saifullah)

Kamp Biawak, diceritakan Iskandar, awalnya bukanlah sebuah kafe seperti saat ini. Kala itu, tempat tersebut hanyalah sebuah hamparan rerumputan. Cuma ada berdiri satu bangunan kecil dari kayu di tengah-tengahnya, yakni kandang lembu milik warga.

Tempat yang berada di bantaran Sungai Lamnyong tersebut, kemudian disewa oleh Iskandar dan teman-temannya, namun bukan untuk membuka kafe melainkan sebagai wadah untuk komunitas literasi. Lebih tepatnya, sebagai wadah untuk tempat berdiskusi dan membedah buku di kalangan mereka.

“Muncul kamp ini bukan berawal dari bisnis, tetapi muncul karena sebagai tempat komunitas-komunitas atau anak muda berkumpul sekedar berdiskusi dan bedah buku atau syarah buku,” ujar Iskandar bercerita

Baca Juga: 6 Fakta Unik dan Menarik Biawak, Kadal Besar yang Mirip Ular

2. Wadah komunitas yang bermetamorfosis menjadi kafe, namun tidak membuang ciri khas literasinya

Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam TerbukaSuana Kamp Biawak, kafe literasi dengan konsep alam terbuka (IDN Times/Saifullah)

Ada suatu kebiasaan yang dilakukan Iskandar bersama teman-temannya setiap menggelar diskusi maupun bedah buku, yakni membawa kopi. Tak hanya itu, mereka juga terkadang mengisi menu lainnya sebagai cemilan, berupa makanan sederhana seperti ubi rebus, pisang, hingga tebu. Belakangan, minuman dan makanan itu menjadi menu yang selalu hadir di kala mereka berkumpul.

Beranjak dari kebiasaan itu, insiatif untuk menjual kopi pun lahir dalam benak Iskandar. Tujuannya, agar mereka tidak harus membeli minuman tersebut di tempat lain dan nantinya bisa dinikmati oleh para pembedah buku maupun peserta yang melakukan diskusi di kamp mereka.

“Daripada kita beli kopi di luar dan membawanya kemari setiap hari, mending kita jual saja,” kata Iskandar.

Tempat yang dikelola Iskandar, Iqbal dan Riza, semakin dikenal masyarakat luas, terutama usai diskusi tentang ganja pada akhir Januari 2020 lalu, yang digelar The Aceh Institute bekerja sama dengan Kamp Biawak.

Sejak saat itu, tempat yang dahulunya sering ditemukan biawak tersebut mulai ramai dikunjungi. Ada yang sekedar menikmati kopi tebunya ada juga khusus untuk berdiskusi maupun membedah buku.

3. Alasan finansial sehingga tidak berani membuka kafe ketika awal mendirikan Kamp Biawak

Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam TerbukaPengunjung sedang menikmati Kopi Tebu, di Kamp Biawak, kafe literasi dengan konsep alam terbuka (IDN Times/Saifullah)

Meski telah menyediakan kopi di Kamp Biawak, namun Iskandar tidak berani langsung merubah tempat tersebut menjadi kafe. Ia hanya memperuntukkan minuman yang ada untuk anak-anak komunitas literasi semata. Bukan tanpa sebab, minimnya finansial dimiliki menjadi alasan pria yang masih menempuh pendidikan doktor di Institut Seni Indonesia Surakarta.

“Pertama segi modal, bagaimana kita bisa mensiasati dengan modal yang kecil kita bisa memanfaatkan dan mendirikan suatu bisnis tetapi kita tidak berorientasi bisnis,” ungkap Iskandar.

Menurutnya, untuk membuka tempat bisnis diperlukan modal yang besar, sedangkan dirinya tidak memiliki keuangan mencukupi. Ditambah lagi, jika ia dan dua rekannya -perintis Kamp Biawak- hanya sekedar membuka warung kopi, akan terbilang sulit dikarenakan di Aceh, khususnya Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, sudah banyak berdiri warung kopi dengan rasa serta ciri khas masing-masing.

“Jadi tidak mungkin kita punya kemampuan secara finansial dan kemampuan secara meracik kopi. Oleh karena itu, kita simple-simpel saja konsepnya,” sambung Iskandar bercerita.

4. Berawal dari kebiasaan dan memanfaatkan kekurangan hingga menjadi ciri khas dari Kamp Biawak

Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam TerbukaPengunjung sedang memasak, di Kamp Biawak, kafe literasi dengan konsep alam terbuka (IDN Times/Saifullah)

Diskusi dan bedah buku sambil menikmati kopi beserya cemilan sederhana, merupakan suatu kebiasaan dari anak-anak komunitas literasi di Kamp Biawak. Ini kemudian berlanjut menjadi sebuah menu favorit yang dimiliki dari kafe berkonsep alam terbuka tersebut.

“Berawal dari konsep anak-anak -komunitas- yang sering membawa kopi kemari dan membawa tebu, jadinya kita buat konsep racikan kopi dan tebu,” ujar pria yang memang dikenal aktif dalam komunitas membaca dan berdiskusi buku itu.

Sadar dengan pengunjung yang semakin ramai ke kafe dan tak hanya dari kalangan komunitas mereka saja, Iskandar dan dua rekannya pun coba menambah menu berupa makanan. Kekurangan finansial lagi-lagi menghampiri mereka, ditambah ketidakmampuan Iskandar dan kawan-kawan untuk membuat makanan sesuai selera pengunjung sehingga timbul inisiatif membuat konsep paket memasak sendiri bagi pengunjung.

“Itu karena kita tidak bisa masak, jadinya konsepnya pembeli yang memasak,” kata pria lulusan master Seni di Institusi Seni Indonesia di Yogyakarta tersebut.

Menutupi kekurangan lainnya berupa bahan-bahan untuk memasak, Iskandar memanfaatkan apa yang dimiliki warga sekitar kafe. Misalnya, ia membeli keperluan seperti ayam, bebek, serta bumbu lainnya langsung dari warga.

Bahan-bahan itu dibelinya ketika ada pemesanan paket memasak. Oleh karena itu, Kamp Biawak menerapkan konfirmasi paket terlebih dahulu bagi pengunjung yang ingin mencoba memasak sendiri, paling telat empat jam sebelum kafe dibuka. Tujuaannya agar mereka bisa memesan segala keperluan.

Walau di alam terbuka dan hanya menyediakan kayu sebagai perapian, temblikar serta perlengkapan tradisional lainnya untuk memasak, ternyata konsep tersebut terbilang sukses. Paket memasak sendiri bagi pengunjung menjadi nilai jual dan ciri khas dari Kamp Biawak.

5. Makna dan sejarah dari nama ‘Kamp Biawak’

Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam TerbukaIskandar, pendiri Kamp Biawak, kafe literasi dengan konsep alam terbuka (IDN Times/Saifullah)

Pembubuhan nama pada sebuah tempat biasanya memiliki histori maupun latar belakang. Begitu juga dengan penamaan Kamp Biawak. Pria yang pernah menempuh pendidikan D3 di Politeknik Seni Yogyakarta tersebut menceritakan, nama itu ia sematkan karena mengingat di lokasi tersebut sering dijumpai biawak ketika dikunjunginya. Kejadian itu terjadi jauh sebelum Kamp Biawak berdiri.

“Latar belakang berdirinya kamp ini juga simpel, berawal dari kita datang kemari untuk memancing. Terus, karena di sini banyak biawak sehingga kita namakan saja Kamp Biawak. Jadi simpel dan tidak perlu banyak berpikir mengenai namanya,” ungkap Iskandar.

Meski demikian, penamaan Kamp Biawak dikatakan Master of Arts Management itu, memiliki makna lain. Kata ‘Biawak’ merupakan akronim dari ‘Bikin Anda Waras Kembali’. Sementara kata ‘Kamp’ bisa diartikan sebagai tempat pelatihan dan sebagainya.

Bekas kandang sapi milik warga ini -sebelum menjadi kafe- memang bukan hanya sekedar tempat tongkrongan biasa, namun sering dijadikan sebagai tempat untuk berbagi ilmu. Bedah buku sering mereka lakukan setiap malam Jumat. Bahkan, di Kamp Biawak juga sering dijadikan tempat menjual buku setiap Sabtu dan Minggu.

Kegiatan bedah buku dan diskusi bukan hal baru dalam dunia Iskandar Tungang -sapaan Iskandar di kalangannya-, akan tetapi sudah rutin ia gelar sejak 2017 silam ketika dirinya di Yogyakarta. Itu ia lakukan juga ketika dirinya mengajar di Kota Jantho -ibu Kota Kabupaten Aceh Besar-. Ia sempat mendirikan Kamp Konsentrasi Seni.

6. Kehadiran Kamp Biawak sempat dipertanyakan warga sekitar

Serunya Kamp Biawak, Kafe Literasi Berkonsep Alam TerbukaKandang lembu yang disulap menjadi dapur Kamp Biawak, kafe literasi dengan konsep alam terbuka (IDN Times/Saifullah)

Kehadiran Kamp Biawak tidak serta merta diterima warga sekitar. Ditambah lagi, tempat tersebut sempat viral usai digelar diskusi tentang ganja. Omongan dan berbagai cibiran sempat terdengar hingga ke telinga Iskandar, namun suami dari Asmaul Husna Arif itu tidak terlalu menggubrisnya.

“Awal-awalnya memang aneh, kita banyak temua kendala seperti imaji dari masyarakat. Orang ramai di sini, sehingga timbul pertanyaan dari orang, “Kok bisa ramai, padahal tempatnya hanya berupa kandang sapi, tapi kok bisa ramai?” Itu pertanyaan orang. Mungkin bisa saja orang berpikir apakah ini memakai dukun atau apalah sehingga bisa ramai, sedangkan orang yang berjualan di pinggir jalan lebih bagus tempatnya tetapi tidak ramai,” ceritanya.

Lambat laun, imaji tersebut mulai terkikis. Iskandar selalu memberikan pemahaman positif kepada warga yang sempat curiga dengan tempat diskusi dan usaha miliknya.

“Sehingga lama kelamaan orang tahu bahwa ini kegiatan positif dan bukan kegiatan negatif. Lama-lama imaji itu hilang.”

Tantangan lainnya juga datang dari pemerintahan. Hal itu berhubung dengan letak kafe yang memang berada di kawasan daerah aliran sungai (DAS) dari Sungai Lamnyong. Meskipun demikian, tantangan itu dianggapnya bukanlah suatu yang harus ditakutkan. Iskandar siap memindahkan kafenya kapan saja bila memang harus pindah.

“Lokasi ini memang lokasi siap digusur. Jadi kemarin sempat ada isu dan dikasih surat, mungkin akan digusur dan kita siap,” ungkap Iskandar.

Kamp Biawak, kafe yang berawal dari tempat untuk berdiskusi para pecinta buku. Lahannya merupakan hamparan rerumputan. Dapur kafe yang terbuat dari kayu-kayu bekas sebelumnya adalah bekas kandang sapi.

Kini tempat tersebut telah disulap menjadi kafe bernuansa alam terbuka. Hampir seluruh properti yang dimiliki memanfaatkan alam. Iskandar tidak bekerja sendiri, ia mempekerjakan tujuh orang sebagai partner kerja untuk mengelola Kamp Biawak.

Kalau kamu ke Aceh, wajib mampir nih!

Baca Juga: Diduga Disiksa Tahanan, Pelaku Rudapaksa Anak Tewas di Penjara

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya