Bangkalan, IDN Times - Mengenakan peci dan berkoko putih, Abdul Fatah tampak khusyuk memimpin tahlil di depan makam Kiai Muhammad Kholil Al-Bangkalani, Minggu (176) siang, pukul 12.10 WIB. Teriknya matahari tidak mengendurkan semangat rombongan ziarah yang dipimpinnya. Lantunan doa dan kalimat pujian untuk Tuhan terus mengalun.
"Al-Faatihah," lantun Fatah beberapa saat kemudian. Para peziarah serentak melafalkan surah pertama dalam Alquran itu. Usai membaca Al-Fatihah, mereka mengusapkan tangan ke wajah, menandakan ritual ziarah kubur telah usai.
Kiai Kholil Al-Bangkalani lahir di Bangkalan, Jawa Timur, sekitar tahun 1820 masehi. Beliau disemayamkan di Masjid Pasarean, sekitar 28 kilometer dari Jembatan Suramadu, sarana penyambung antara Surabaya dengan Madura. Dari Suramadu, kurang lebih memakan waktu 35 menit perjalanan untuk tiba di makam seorang ulama kharismatik yang wafat sekitar tahun 1925.
Warga Jawa Timur menyebutnya sebagai 'Syaikhona'. Berakar dari bahasa Arab yang artinya adalah guru kita. "Almarhum ini gurunya Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Hampir semua ulama besar di Indonesia gurunya itu Syekh Kholil Al-Bangkalan," terang Fatah kepada IDN Times seusai membaca tahlil, Minggu (17/6).
Makam Kiai Kholil terletak beberapa meter di sebelah kanan tempat imam memimpin salat. Masjidnya cukup megah, mampu menampung ribuan jemaah. Arsitektur bergaya Arab memanjakan mata setiap pengunjung.
Ingin mengenal sosok Kiai Kholil lebih jauh? Yuk simak terus kabar yang disediakan IDN Times.