5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!

Perang ini berawal dari pemujaan Dewa Api di Bali 

Bali dikenal memiliki banyak tradisi unik yang telah diwariskan oleh leluhur masyarakat Bali. Tradisi ini masih dijalankan hingga saat ini karena dipercaya memberikan keselamatan bagi masyarakat yang melaksanakannya.

Salah satu tradisi unik yang ada di Bali adalah Tradisi Perang Api. Beberapa daerah di Bali memiliki tradisi perang api yang tentunya masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Penasaran? Berikut penjelasannya yang dikutip dari sebuah jurnal yang berjudul "Tradisi Perang Api pada Masyarakat Bali", yang ditulis oleh I Nyoman Suka Ardiyasa dan Putu Maria Ratih Anggraini pada tahun 2021.

1. Pemujaan kepada Dewa Api 

5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!ilustrasi Dewa Api atau Hyang Api atau Hyang Agni (Commons.wikimedia.org/E. A. Rodrigues)

Dewa Api atau Hyang Api atau Hyang Agni adalah salah satu dewa yang dipuja masyarakat Bali khususnya umat Hindu yang diperkirakan dimulai sejak abad IX masehi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa prasasti seperti prasasti Sukawana dan beberapa nama pura yang menggunakan nama api seperti Pura Hyang Api di Klusa, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Pura Labuh Api di Desa Unggasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Pura Kobar Api yang ada di Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, dan lain-lainnya.

Masyarakat Hindu memuja Dewa Api atau Hyang Api agar mereka terhindar dari bencana yang berkaitan dengan api. Oleh sebab itu, masyarakat melakukan persembahan kepada Dewa Api yang kemudian diwujudkan menjadi sebuah tradisi salah satunya adalah tradisi perang api yang ada di beberapa daerah di Bali.

2. Tradisi perang api di Desa Unggahan Buleleng 

5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!Masyarakat Desa Unggahan sedang melaksanakan perang api. (YouTube.com/Ferdy Official)

Tradisi Perang Api di Kabupaten Buleleng terdapat di Desa Unggahan, Kecamatan Seririt. Tradisi ini dilaksanakan sebagai rangkaian upacara Nyepi di desa tersebut.

Prosesi perang api dilaksanakan pada sore hari di pusat desa. Sarana yang digunakan adalah slepan atau daun janur yang sudah kering kemudian diikat hingga sebesar paha orang dewasa. Kemudian orang yang membawa daun janur kering tersebut akan membakarnya dan mulai melakukan perang terhadap warga lainnya. Perang api akan berakhir saat api sudah mati.

Tradisi yang disakralkan oleh masyarakat Desa Unggahan ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif agar tidak mengganggu saat Hari Nyepi nanti. Selain itu, tradisi ini juga untuk memupuk rasa persaudaraan serta belajar untuk berperilaku jujur dan sportifitas.

3. Tradisi Siat Geni di Desa Tuban, Badung 

5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!Masyarakat Desa Tuban sedang melaksanakan perang api. (Commons.wikimedia.org/Agoesantara)

Siat geni berasal dari kata siat yang berarti perang atau berkelahi dan geni berarti api, sehingga siat geni berarti perang api. Tradisi Siat Geni ini terdapat di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung.

Sejarah Tradisi Siat Geni di Desa Tuban ini terkait dengan ekspansi atau kedatangan pasukan Majapahit ke Bali tepatnya di sekitar Bandara Ngurah Rai saat ini. Saat akan membuka lahan di tempat yang masih berupa hutan tersebut, didapat pawisik agar warga melakukan persembahan kepada Dewa Agni. Kemudian dilaksanakanlah persembahan berupa perang api atau siat geni.

Pelaksanaan tradisi ini pada Hari Purnama Sasih Kapat (bulan keempat dalam kalender Bali) di Pura Dalem Tuban. Sarana yang digunakan adalah serabut kelapa (sambuk) yang dibakar, yang nantinya warga akan saling lempar serabut kelapa ini.

Uniknya, jarang ada warga yang terluka saat dilempar menggunakan serabut kelapa ini. Jika ada terluka, cukup dimohonkan tirta atau air suci di pura setempat, maka sakitnya akan hilang. Tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini bertujuan untuk melebur aura-aura yang bernuansa negatif sehingga menjadi energi positif.

Baca Juga: 10 Tarian Populer Khas Bali Ini Sarat Nilai Seni dan Budaya

4. Terteran, perang api di Desa Jasri, Karangasem 

5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!Masyarakat Desa Jasri sedang melaksanakan Terteran. (Desawisatajasri.com)

Di Desa Jasri yang terletak di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem ini memiliki tradisi perang api yang disebut dengan nama Terteran. Dalam bahasa Bali, terteran memiliki arti saling melempar.

Tradisi Terteran dilaksanakan setiap tahun genap atau dua tahun sekali. Tradisi ini dilaksanakan terkait dengan upacara desa Aci Muu-Muu yang dilaksanakan setiap hari Pengerupukan atau sehari sebelum Hari Nyepi. Tradisi ini dimulai saat senja yang bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang mengganggu kehidupan desa setempat.

Alat yang digunakan adalah obor yang terbuat dari slepan atau daun janur kering yang diikat. Terdapat kelompok warga yang disebut Wong Bedolot yang bertugas membawa sarana persembahan yang disebut caru.

Wong Bedolot ini setibanya dari pantai Jasri akan diter atau dilempari obor oleh warga setempat. Wong Bedolot ini tidak boleh melawan, namun hanya bisa menangkis menggunakan obor yang mereka bawa.

Setelah Wong Bedolot ini sampai ke Pura Bale Agungm kemudian dilanjutkan dengan Terteran atau perang api masal. Warga kemudian akan saling melempar obor ke warga lainnya saat peluit dibunyikan. Walaupun terkadang bisa menimbulkan luka bakar, namun warga menjalaninya dengan perasaan senang, tidak ada permusuhan.

5. Tradisi perang api di Desa Nagi, Ubud, Gianyar 

5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!Masyarakat Desa Nagi sedang melaksanakan perang api. (YouTube.com/Wayan Eka Setiawan)

Tradisi perang api di Desa Nagi, Kecamatan Ubur, Kabupaten Gianyar juga dilaksanakan pada hari Pengerupukan, sehari sebelum Hari Nyepi. Sarana api yang digunakan adalah berasal dari batok kelapa (kau) yang dibakar.

Para pemuda desa akan duduk mengelilingi batok kelapa yang dibakar. Mereka akan bernyanyi yang dikenal dengan istilah megenjekan hingga batok kelapa terbakar dengan sempurna.

Kemudian setelah terbakar sempurna, pemimpin desa atau Jro Bendesa akan memberikan aba-aba agar perang api dimulai. Saat perang api, setiap pemuda melempar batok kelapa yang terbakar tersebut ke orang lain yang diikuti gambelan gong beleganjur bertempo cepat.

Sama seperti tradisi Terteran, tradisi perang api di Desa Nagi, Ubud ini juga bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif agar tidak menggangu saat perayaan Hari Nyepi.

6. Tradisi Lukat Gni di Klungkung 

5 Tradisi Perang Api di Bali, Menetralisir Kekuatan Negatif!Masyarakat Desa Paksebali sedang melaksanakan perang api. (YouTube.com/cerita bali kini)

Tradisi perang api yang terakhir adalah tradisi yang dinamakan Tradisi Lukat Gni, yang juga dilaksanakan pada hari Pengerupukan. Lukat gni berasal dari kata lukat yang berarti membersihkan diri dan gni berarti api.

Lukat gni di sini memiliki arti pembersihan Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuana Agung (makrokosmos).Tradisi Lukat Gni terdapat di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

Tradisi ini berguna untuk menjaga keseimbangan alam dan manusia sehingga nantinya tercipta keharmonisan saat perayaan Hari Nyepi. Tradisi Lukat Gni dilakukan di perempatan desa atau catus pata. Masing-masing warga yang mengikuti tradisi ini akan saling melempar daun kelapa kering yang dibakar.

Tradisi adiluhung warisan leluhur ini sudah sepantasnya dijaga kelestariannya. Selain untuk mejaga keselamatan warga desa, tradisi ini juga bisa dijadikan daya tarik wisata tersendiri.

Baca Juga: 5 Film yang Mengangkat Budaya Bali, Beragam Genre!

Ari Budiadnyana Photo Verified Writer Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Febrianti Diah Kusumaningrum

Berita Terkini Lainnya