Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi turun gunung (pexels.com/Elias Strale)
ilustrasi turun gunung (pexels.com/Elias Strale)

Banyak pendaki menganggap jalur turun sebagai bagian yang lebih mudah dibanding mendaki, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Justru pada fase inilah tubuh sering kehilangan tenaga lebih cepat karena kombinasi faktor teknis, fisik, dan mental yang kerap diabaikan. Itulah mengapa banyak pengalaman mendaki gunung menyimpan cerita tentang kelelahan hebat yang muncul justru setelah puncak berhasil dicapai.

Kondisi ini tidak bisa dianggap sepele karena jalur turun membutuhkan kendali penuh pada otot, konsentrasi yang stabil, dan ritme langkah yang terjaga. Kesalahan kecil seperti terburu-buru atau kurang menjaga fokus bisa membuat tubuh lebih cepat terkuras. Oleh sebab itu, memahami alasan mengapa energi habis saat turun gunung menjadi hal penting bagi siapa pun yang gemar bertualang di alam. Berikut penjelasan yang bisa memberi gambaran lebih jelas.

1. Tubuh pendaki mengalami tekanan berbeda saat menahan bobot

ilustrasi turun gunung (pexels.com/Mikael Log)

Banyak orang mengira berjalan menurun lebih ringan dibanding menanjak, padahal gerakan menahan tubuh di jalur terjal justru memberi beban ekstra pada otot. Saat kaki melangkah turun dari gunung, otot paha depan bekerja lebih keras untuk menahan berat tubuh agar tidak jatuh. Tekanan berulang ini sering kali membuat pendaki merasa kakinya lebih cepat pegal dan lemas meski tidak terasa kehabisan napas seperti saat mendaki.

Selain otot, persendian terutama lutut dan pergelangan kaki juga menerima beban lebih besar. Jika langkah terlalu cepat, hentakan yang terjadi bisa mempercepat rasa sakit dan menurunkan stamina. Karena itu, banyak pendaki yang tidak menyadari bahwa jalur turun membutuhkan strategi pergerakan yang sama seriusnya dengan jalur naik.

2. Konsentrasi pendaki berkurang setelah euforia puncak

ilustrasi turun gunung (pexels.com/Oksana Abramova

Setelah berhasil mencapai puncak, banyak pendaki merasa lega dan puas. Rasa puas itu sering membuat fokus menurun sehingga langkah di jalur turun dilakukan secara terburu-buru. Kondisi ini berbahaya karena jalur yang curam membutuhkan perhatian ekstra untuk menghindari tergelincir atau salah pijak.

Kurangnya konsentrasi ini juga membuat tubuh cepat lelah secara mental. Pikiran yang mulai mengendur bisa menurunkan koordinasi tubuh, sehingga energi terkuras bukan hanya karena otot, tetapi juga karena daya fokus yang melemah. Hal kecil seperti salah perhitungan saat melangkah bisa menimbulkan risiko lebih besar di jalur curam.

3. Jalur turun menuntut teknik langkah yang tepat

ilustrasi turun gunung (pexels.com/Nicola Toscan)

Banyak pendaki masih belum memahami bahwa langkah di jalur turun tidak bisa disamakan dengan jalur datar. Gerakan yang terlalu lebar atau terlalu cepat bisa memperberat kerja otot sekaligus meningkatkan risiko terpeleset. Oleh karena itu, penting untuk menjaga langkah lebih pendek dan terkontrol agar tenaga tidak cepat habis.

Teknik menuruni jalur juga berhubungan dengan penggunaan trekking pole atau tongkat. Peralatan ini bisa membantu mengurangi beban di kaki, namun jika tidak digunakan dengan benar justru menambah kelelahan pada tangan dan bahu. Kesalahan teknik semacam ini sering menjadi penyebab energi habis lebih cepat tanpa disadari.

4. Perbekalan energi sering tidak dikelola dengan baik

ilustrasi turun gunung (pexels.com/Corneliu Stefan Esanu)

Pendaki biasanya lebih fokus menyiapkan tenaga untuk jalur naik, sementara fase turun dianggap tidak membutuhkan banyak asupan. Pola pikir ini keliru karena tubuh tetap membutuhkan pasokan energi yang stabil hingga perjalanan benar-benar selesai. Jika asupan cairan dan makanan ringan tidak diperhatikan, tubuh akan cepat kehilangan tenaga.

Kekurangan cairan juga berperan besar dalam rasa lelah di jalur turun. Walau udara terasa lebih sejuk di ketinggian, tubuh tetap mengeluarkan keringat dalam jumlah besar. Saat cairan tubuh berkurang, otot tubuh jadi  lebih cepat kram dan konsentrasi berkurang sehingga perjalanan turun gunung menjadi terasa lebih berat.

5. Mental pendaki mudah mengendur di fase pulang

ilustrasi turun gunung (pexels.com/Adrià Masi)

Setelah puncak tercapai, banyak pendaki menganggap perjalanan sudah berakhir sehingga motivasi menurun. Padahal, jalur pulang bisa sama menantangnya dengan jalur pergi, terutama jika kondisi cuaca berubah atau rute lebih teknis. Ketika mental tidak lagi siap, tubuh pun lebih cepat merasa lelah karena semangat sudah berkurang.

Kondisi psikologis ini sangat memengaruhi daya tahan. Pendaki yang menjaga semangat biasanya lebih mampu mengendalikan tenaga hingga akhir perjalanan. Sebaliknya, mereka yang merasa perjalanan tinggal formalitas sering kali justru kehabisan energi karena tidak lagi punya dorongan mental yang kuat.

Mendaki gunung bukan hanya soal mencapai puncak, tetapi juga bagaimana menyelesaikan perjalanan dengan selamat hingga kembali ke titik awal. Jalur turun sering kali menguras tenaga lebih besar karena kombinasi faktor fisik, teknis, dan mental yang jarang diperhitungkan. Dengan memahami penyebab kelelahan di fase ini, setiap pendaki bisa lebih siap mengatur tenaga dan menjaga keselamatan.

Referensi:

"Reduce Your Energy Consumption". OVO Network Blog. Diakses pada Agustus 2025.

"Going Down is More Dangerous than Going Up". 2H Strategies Blog. Diakses pada Agustus 2025.

"5 Tips for Managing Fatigue While Hiking". Hillwalk Tours. Diakses pada Agustus 2025.

"9 Ways to Defeat Post-Hiking Fatigue". Currex. Diakses pada Agustus 2025.

"How to Avoid Hiker’s Fatigue When Hillwalking". The Great Outdoors. Diakses pada Agustus 2025.

"Knee Pain Hiking Downhill". Jaco Rehab. Diakses pada Agustus 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team