Kala Amran Tak Berhenti Jalan Jelaskan Dampak Tarif Trump ke Pertanian

- Amran bicara soal impor pertanian dari AS, termasuk kesepakatan impor senilai 4,5 miliar dolar AS dan penurunan tarif resiprokal Trump 19 persen.
- Potensi peningkatan ekspor CPO ke AS, dengan peluang ekspor minyak sawit mentah dari Indonesia ke AS serta solusi replanting atau peremajaan sawit rakyat.
- Peluang masuknya produk pertanian AS makin besar dan tidak sejalan dengan visi swasembada pangan, dengan dampak terhadap produksi pertanian dalam negeri dan program swasembada pangan nasional.
Jakarta, IDN Times - Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, berbicara tentang kedaulatan pangan di tengah disrupsi geopolitik dan perang dagang dalam Kagama Leaders Forum Series di Gedung RRI, Jakarta, Kamis (16/7/2025).
Amran yang menggunakan kemeja putih panjang didapuk untuk menyampaikan opening remarks dalam acara tersebut. Untuk diketahui, Kagama merupakan singkatan dari Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada.
Di bangku penonton, terlihat dua wajah familiar yang pernah menghiasi kabinet pemerintahan dalam 10 tahun terakhir, yakni Budi Karya Sumadi eks Menteri Perhubungan dan Retno Marsudi mantan Menteri Luar Negeri.
Budi Karya hadir sebagai Ketua Pengurus Harian Kagama. Sedangkan, Retno datang untuk menyampaikan keynote speech sebagai Utusan Khusus PBB untuk Isu Air.
Dalam pidato pembukaan, Amran menyampaikan banyak hal yang di antaranya adalah kemungkinan kolaborasi antara pemerintah dengan Kagama dalam pengentasan pengangguran di Indonesia lewat sektor pertanian.
"Kita ingin hilirisasi, tapi memperkuat dulu. Kalau ini Ro371 triliun bisa kita investasi, kita bisa memperkerjakan delapan juta orang. Artinya apa? Pengangguran republik ini selesai, tetapi mohon izin dengan segala kerendahan hati Pak Ketua Kagama, Ibu Retno, tolong, tanpa Kagama. Ini tidak bisa jadi kenyataan. Kita butuh kolaborasi," kata Amran.
"Aku yakin Kagama ada pengusaha kan? Ada kan? Ada konglomerat? Datang dan kami siapkan regulasi. Kami kawal, kami menurunkan karpet merah. Ini kita mau bangun," lanjutnya.
1. Amran bicara soal impor pertanian dari AS

Setelah menyampaikan pidato pembukaannya, Amran langsung keluar dari Auditorium Abdurrahman Saleh Gedung RRI untuk menuju mobilnya di lantai dasar. Awak media yang sudah menunggu lama pun langsung mengerubungi Amran untuk melakukan doorstop.
Amran yang terburu-buru enggan berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan wartawan. Dia terus berjalan sambil menjawab pertanyaan awak media terkait kesepakatan impor pertanian Amerika Serikat (AS) senilai 4,5 miliar dolar AS sebagai salah satu syarat penurunan tarif resiprokal Trump 19 persen.
"Jadi, itu gandum. Itu yang paling besar, tetapi kita bersyukur karena tarif dari 34 menjadi 19 persen," ujar Amran seraya menuruni anak tangga bersama awak media.
Amran pun sempat mengingatkan wartawan untuk berhati-hati menuruni tangga di sela-sela menjawab pertanyaan. Dalam lanjutan jawabannya, Amran menampik adanya kemungkinan gangguan terhadap program ketahanan pangan nasional akibat impor 4,5 miliar dolar AS tersebut.
"Saya kira nggak, nggak masalah. Apa sih di antaranya? Yang kita biasa impor (dari AS) kan jagung. Tapi, contoh salah satu, jagung ya, itu kalau kita cukup kan tidak impor, iya kan? Kan ada rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Itu nggak masalah. Ini adalah posisi yang sangat baik," ujar Amran.
2. Potensi peningkatan ekspor CPO ke AS

Sesampainya di luar gedung, Amran akhirnya berhenti untuk memberikan pernyataan lebih lanjut terkait dampak tarif Trump 19 persen terhadap sektor pertanian. Sebelum masuk mobil, Amran menyatakan adanya peluang peningkatan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari Indonesia ke AS. Hal itu bisa terjadi lantaran pemerintah AS membebankan tarif lebih tinggi terhadap produk asal Malaysia, yang merupakan merupakan kompetitor langsung Indonesia dalam pasar CPO dunia, sebesar 25 persen.
"CPO kita pasti bersaing, menang kalau dibandingkan dengan negara lainnya," ujar Amran.
Kendati begitu, kondisi CPO Indonesia pada dasarnya tidak baik-baik saja mengingat dalam lima tahun terakhir produksinya stagnan di angka 50 juta ton. Amran pun mengakui stagnansi tersebut, tetapi langsung menyebutkan solusi replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR).
"Kita akan menanam kembali. Replanting kita sudah lakukan, pasti produksi naik, tetapi mungkin stagnan karena kita alihkan ke biofuel," kata Amran sambil tersenyum lebar dan dengan nada optimistis.
Meski begitu, Amran tidak bisa mengungkapkan bakal ada tambahan berapa juta hektare lagi tanaman sawit di Indonesia efek dari replanting tersebut.
"Doakan, doakan. Nanti kita diskusi lagi, fokus dulu diselesaikan beras," kata Amran dari dalam mobil sambil berpamitan kepada awak media lantaran harus menghadiri Rakortas Pangan.
3. Peluang masuknya produk pertanian AS makin besar dan tidak sejalan dengan visi swasembada pangan

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, sempat menyatakan sektor yang paling terdampak jika Indonesia memberikan tarif nol persen kepada AS adalah pertanian. Ancamannya, produksi pertanian dalam negeri bisa turun jika Indonesia dibanjiri produk pertanian AS yang lebih murah.
"Ini harus dilihat lagi detailnya ya, apakah semua produk pertanian nol persen atau tidak? Tapi, kalau semuanya berarti yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian kita meningkatkan kapasitas produksi di dalam negeri," ujar Faisal.
Faisal menyoroti dampak dari tawaran yang diberikan pemerintah terhadap program swasembada pangan yang juga dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto.
"Bagaimana kita meningkatkan kapasitas produksi di dalam negeri untuk meningkatkan swasembada di tengah persaingan dengan pasar, dengan produk impor pertanian yang jadinya jauh lebih murah? Nah pertanyaannya, apakah ini kemudian sejalan dengan upaya memperkuat sektor pertanian dan hilirisasi di sektor pertanian," ujar Daisal.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara. Bhima mengatakan, bea masuk nol persen terhadap produk AS bisa berdampak pada program swasembada pangan nasional. Dia menilai, AS mendapatkan keuntungan besar dari ekspor gandum ke Indonesia, sementara produsen pangan lokal berisiko tertekan akibat harga produk impor lebih murah.
"Konsumen mungkin senang harga mi instan dan roti bakal turun. Tapi, produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya," kata Bhima.