Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koperasi Desa Merah Putih Dinilai Banyak Langgar Peraturan

Wamen Koperasi, Fery Juliantoro saat meninjau gerai Koperasi Merah Putih di Desa Kembang Kuning Lotim (IDN Times/Ruhaili)
Wamen Koperasi, Fery Juliantoro saat meninjau gerai Koperasi Merah Putih di Desa Kembang Kuning Lotim (IDN Times/Ruhaili)
Intinya sih...
  • Kebijakan Kopdes MP bertentangan dengan berbagai Undang Undang.
  • Celios mencatat setidaknya 15 bentuk pelanggaran hukum yang berpotensi menjerat kepala desa.
  • Risiko korupsi dalam pembentukan dan penyelenggaraan Kopdes MP.

Jakarta, IDN Times - Center of Economic and Law Studies (Celios) menemukan sejumlah pelanggaran hukum dalam pelaksanaan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP). Hal itu dilaporkan Celios dalam laporannya yang bertajuk “Koperasi Desa Merah Putih: Risiko Hukum Menanti Kepala Desa.”

Dalam laporan tersebut, Celios menilai program Kopdes MP yang digagas pemerintah pusat dan didorong melalui Instruksi Presiden Nomor 9/2025 serta sejumlah surat edaran lintas kementerian dibangun di atas fondasi hukum yang rapuh.

“Pembentukan koperasi ini tidak memiliki dasar hukum perundang-undangan yang kuat. Instruksi Presiden dan Surat Edaran bukanlah instrumen yang sah untuk membentuk lembaga baru yang mengelola dana publik,” ujar Direktur Hukum Celios, Mhd Zakiul Fikri dikutip Minggu (22/6/2025).

1. Kebijakan Kopdes MP bertentangan dengan berbagai Undang Undang

IMG-20250616-WA0012.jpg
Koperasi merah putih di Kelurahan Sukodadi Palembang (Dok. Kominfo)

Lebih jauh, Celios mengidentifikasi bahwa banyak kebijakan dalam program ini justru bertentangan dengan berbagai Undang-Undang (UU) seperti UU Desa, UU Perkoperasian, UU Pelayanan Publik, hingga UU Tipikor. Ketidaksesuaian ini tidak hanya berdampak administratif, tetapi juga membuka jalan terjadinya penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dan pengalihan fungsi fiskal desa tanpa dasar hukum yang jelas.

Laporan Celios mencatat setidaknya 15 bentuk pelanggaran hukum yang berpotensi menjerat kepala desa. Hal itu mulai dari penggunaan dana desa secara ilegal, gratifikasi jabatan, hingga penyalahgunaan koperasi untuk kampanye terselubung menjelang Pemilu 2029.

Kepala desa yang terlibat dapat dikenakan sanksi mulai dari pemberhentian administratif, denda puluhan juta, hingga hukuman penjara seumur hidup, tergantung tingkat pelanggaran.

“Dana desa digunakan sebagai modal koperasi yang tidak jelas legalitas kewenangannya, lalu dijadikan jaminan untuk pinjaman ke bank Himbara. Padahal, desa memiliki hak untuk menentukan sendiri arah kebijakan ekonomi lokalnya. Tidak ada kewajiban hukum bagi desa untuk mengikuti program yang tidak memiliki dasar legal yang sah,” tutur Fikri.

2. Risiko korupsi

Ilustrasi korupsi (IDN Times/Sukma Shakti)

Peneliti Hukum Celios, Muhamad Saleh menjelaskan, dalam dua fase utama pembentukan dan penyelenggaraan Kopdes MP mengandung risiko korupsi. Proses pembentukan kerap dilakukan secara formalitas administratif dengan penunjukan pengurus berdasarkan kedekatan politik.

Celah korupsi juga muncul dari penggunaan anggaran darurat (BTT) untuk pendirian koperasi dan pengadaan barang yang disesuaikan dengan alokasi, bukan kebutuhan riil masyarakat. 

Dalam skema penyelenggaraan, koperasi yang dibentuk kerap fiktif atau tidak aktif, tetapi tetap menerima alokasi pinjaman miliaran dari bank negara. Celios mencatat potensi kebocoran dana desa sebesar Rp60 juta per desa per tahun, atau secara nasional dapat mencapai Rp4,8 triliun per tahun.

3. Kopdes MP bisa jadi mesin politik jelang Pemilu 2029

Ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)
Ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)

Selain persoalan hukum dan korupsi, Celios juga menyoroti kecenderungan Kopdes MP dijadikan mesin politik menjelang Pemilu 2029. Berdasarkan temuan, 35 persen perangkat desa meyakini bahwa program ini sarat kepentingan politik. Kepala desa yang secara otomatis ditunjuk sebagai ketua koperasi memiliki kuasa terpusat atas distribusi bantuan dan pembentukan loyalitas politik di tingkat akar rumput.

“Kopdes MP menjadi alat mobilisasi politik yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Terstruktur, karena dikelola langsung oleh kepala desa dan perangkat yang memiliki jabatan formal. Sistematis, karena melibatkan jaringan koperasi sebagai saluran distribusi bantuan, kaderisasi politik, dan kontrol informasi warga.  Masif, karena dilakukan di berbagai desa dan dalam jangka waktu panjang menjelang Pemilu 2029. Jika dibiarkan, praktik ini bisa membajak demokrasi lokal,” ujar Saleh.

Dalam simulasi yang dilakukan Celios, dengan asumsi 80.000 koperasi berdiri dan masing-masing memiliki 100 anggota aktif, potensi mobilisasi suara bisa mencapai 5,6 juta suara cukup untuk menyumbang hingga 46 kursi di DPR jika disalurkan pada dua partai dominan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us