Ia tak pandai berkata cinta,
tapi langkahnya pulang membawa cahaya.
Tangannya tak sering menggenggam,
tapi pintu rumah selalu terbuka diam-diam.

Ia duduk paling akhir di meja makan,
menyisakan lauk, menyimpan lapar.
Bukan karena tak ingin kenyang,
tapi agar kita tahu artinya tenang.

Suara hatinya tak banyak terdengar,
tapi doanya ada dalam setiap kelakar.
Ia jarang memeluk dengan tangan,
tapi bahunya tempat kita selalu bisa bersandar pulang.

Waktu berjalan tanpa banyak jeda,
rambutnya memutih seperti musim yang tak bersuara.
Namun, ia tetap di sana diam, tapi nyata,
seperti peluk yang tak banyak kata, tapi selalu ada.