7 Kemalangan Shin Hyun Heup di Drakor S Line, Punya Trauma Psikologis

Di balik sikap pendiamnya, Shin Hyun Heup (Arin) menyimpan beban yang tak banyak orang tahu, kecuali dirinya sendiri. Dalam drama Korea S Line, ia menjadi satu-satunya manusia yang mampu melihat garis merah misterius yang menghubungkan orang-orang yang pernah terlibat hubungan seksual.
Bukan anugerah, kemampuan ini justru menjadi awal dari serangkaian kemalangan dalam hidupnya. Sejak kecil, Hyun Heup dipaksa menyaksikan rahasia terdalam orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya sendiri. Tanpa pernah meminta, ia menjadi saksi bisu atas kepalsuan, pengkhianatan, dan aib yang terus menghantuinya dan menjadikannya tokoh paling menderita dalam kisah thriller psikologis ini. Berikut kemalangan Shin Hyun Heup di S Line.
1. Sejak kecil, Shin Hyun Heup bisa melihat garis merah misterius di kepala orang-orang. Bukannya menjadi istimewa, ia malah diliputi perasaan takut dan kebingungan

2. Sejak kecil, ia harus menyaksikan garis-garis yang menghubungkan orang tuanya dengan orang lain. Hal ini membuat kepercayaannya terhadap keluarga jadi hancur

3. Saat masih belum begitu paham, Shin Hyun Heup menggambar potret keluarganya beserta garis yang ia lihat. Namun siapa sangka hal itu menyebabkan perpecahan keluarganya’

4. Sang ibu yang menyadari arti garis itu dan melihat ayahnya terhubung dengan bibinya, membuat ibu Shin Hyun Heup membunuh sang ayah dan kabur melarikan diri

5. Kejadian tersebut membuat Shin Hyun Heup tak punya siapa-siapa lagi. Gak hanya itu, ia jadi menanggung trauma psikologis akibat kejadian tersebut

6. Shin Hyun Heup bahkan mengisolasi dirinya karena rasa traumanya itu. Ia takut bertemu dengan orang lain, apalagi menyaksikan keburukan orang lain dari garis merah yang ia lihat

7. Saat memilih menggunakan kemampuannya melihat garis ini untuk hal baik, Shin Hyun Heup masih kecolongan dan membuat temannya jadi tewas

Melalui karakter Shin Hyun Heup, S Line menyuguhkan potret tragis seorang remaja yang memikul beban tak kasatmata. Alih-alih menjadi anugerah, kemampuannya justru menyeretnya ke dalam kesepian, trauma, dan rasa bersalah yang terus menghantui.