Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahpahaman Soal Free Range Parenting, Apa Itu?

Ilustrasi keluarga (Pexels.com/Monstera Production)
Ilustrasi keluarga (Pexels.com/Monstera Production)
Intinya sih...
  • Free range parenting bukan berarti anak dibiarkan bebas tanpa batas, tetapi mengajarkan kontrol diri dan tanggung jawab.
  • Orang tua yang menerapkan metode ini tidak malas, tapi ingin anak cakap hidup dan mandiri dalam menghadapi dunia nyata.
  • Pengawasan tetap ada dalam free range parenting, namun lebih halus dan berbasis kepercayaan daripada kontrol yang mencekik.

Pernah dengar istilah free range parenting? Gaya pengasuhan yang satu ini sering bikin orang salah paham, bahkan gak jarang dikaitkan dengan label “lalai” atau “gak peduli sama anak”. Padahal, di balik nama yang terdengar ‘bebas’ itu, ada filosofi yang dalam soal membesarkan anak jadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan punya kontrol diri yang kuat. Nah, kalau kamu pernah melihat anak kecil main sendiri di taman atau naik sepeda tanpa ditemani orang tua dan langsung mengernyitkan dahi—yuk, kita bahas bareng dulu sebelum menilai.

Artikel ini akan membongkar lima kesalahpahaman terbesar soal free range parenting. Kita akan lihat dari sudut pandang yang lebih jujur, lebih manusiawi, dan tentu saja lebih nyambung dengan realitas hidup kita sekarang—khususnya sebagai generasi yang tumbuh di tengah tuntutan serba cepat, serba instan, tapi juga ditantang untuk tetap sadar dan bijak dalam membesarkan generasi berikutnya.

1. Free range bukan berarti anak dibiarkan bebas tanpa batas

Ilustrasi seorang ibu dan seorang anak (Pexel.com/Yan Krukau)

Banyak yang mengira free range parenting adalah gaya pengasuhan yang membiarkan anak ‘bebas sebebas-bebasnya’ tanpa aturan. Padahal, justru sebaliknya—orang tua yang menerapkan metode ini biasanya menetapkan batas yang sangat jelas dan penuh kesadaran. Bedanya, batas itu tidak dibungkus dengan ketakutan, melainkan dengan kepercayaan dan pelatihan bertahap.

Kamu gak sedang melepas anak ke dunia yang buas, tapi kamu sedang mengajarinya cara membaca arah, mengenali risiko, dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kecil sejak dini. Ini semacam kamu ngajarin anak naik sepeda, bukan dengan menarik sepedanya terus, tapi dengan perlahan melepas pegangannya dan percaya bahwa ia bisa menemukan keseimbangannya sendiri.

2. Bukan karena orang tua malas, tapi karena ingin anak cakap hidup

Ilustrasi membangun koneksi lebih dekat dengan anak (Pexel.com/Ayşenur)
Ilustrasi membangun koneksi lebih dekat dengan anak (Pexel.com/Ayşenur)

Ada anggapan miring kalau orang tua yang free range itu ‘ogah repot’, padahal kenyataannya mereka justru memilih jalan yang lebih menantang: memberi ruang untuk anak belajar dari pengalaman langsung. Ini bukan keputusan asal-asalan, tapi pendekatan yang strategis dan jangka panjang.

Mendidik anak agar tidak manja dan tidak selalu menggantungkan diri pada orang dewasa itu butuh keberanian, konsistensi, dan refleksi yang terus-menerus. Kita hidup di zaman ketika kecakapan hidup (life skills) jadi mata uang yang berharga. Jadi, kalau kamu ingin anakmu kuat menghadapi dunia yang nyata, kamu harus rela membiarkannya ‘jatuh’ dengan aman, lalu bantu dia bangkit, bukan terus jadi perisai yang membuatnya gak pernah belajar bertahan.

3. Free range tidak berarti anti pengawasan

Ilustrasi seorang ibu dan seorang anak (Pexels.com/Ivan Samkov)
Ilustrasi seorang ibu dan seorang anak (Pexels.com/Ivan Samkov)

Satu lagi kesalahpahaman yang sering muncul: orang tua free range dianggap abai atau tidak mau mengawasi anak. Sebenarnya, pengawasan tetap ada—hanya saja bentuknya lebih halus dan berbasis kepercayaan. Bukannya memantau terus lewat CCTV hidup, tapi menciptakan sistem yang membuat anak merasa aman sekaligus bebas menjelajah.

Ini tentang membangun komunikasi yang sehat, bukan kontrol yang mencekik. Kamu gak sedang kehilangan kendali, kamu sedang membentuk seorang individu yang tahu kapan harus bertanya, kapan harus berhenti, dan kapan harus berani. Dalam dunia yang semakin digital dan tak pasti, kemampuan anak untuk membaca situasi secara mandiri jauh lebih penting daripada sekadar patuh karena takut.

4. Anak-anak masih tetap butuh bimbingan, bukan dilepas total

Ilustrasi seorang anak laki-laki dan seorang ibu (Pexels.com/Ivan Samkov)
Ilustrasi seorang anak laki-laki dan seorang ibu (Pexels.com/Ivan Samkov)

Sering juga muncul anggapan bahwa free range parenting berarti anak dididik untuk ‘ngurus diri sendiri’ sejak usia dini, seakan-akan orang tua sudah angkat tangan. Padahal, justru esensinya adalah membimbing anak untuk mengenali dirinya sendiri, memahami batas kemampuannya, dan belajar membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Kita bukan sedang melahirkan generasi ‘superhero’ yang bisa semuanya sendiri, tapi justru sedang menciptakan manusia utuh yang sadar bahwa dunia tidak selalu ramah—dan itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, melainkan sesuatu yang harus dipahami. Jadi, bimbingan tetap jadi kunci. Tapi alih-alih menjadi pelatih yang terus teriak di pinggir lapangan, kamu belajar menjadi penonton yang percaya pada proses latihan anakmu.

5. Gaya ini gak cocok untuk semua anak, tapi bisa diadaptasi

Ilustrasi seorang ibu dan anak perempuan (Pexels.com/Ron Lach)
Ilustrasi seorang ibu dan anak perempuan (Pexels.com/Ron Lach)

Terakhir, jangan mengira free range parenting itu metode yang cocok untuk semua anak atau semua kondisi. Setiap anak punya kebutuhan dan karakter berbeda. Tapi prinsip dasarnya—kepercayaan, pelatihan tanggung jawab, dan ruang untuk eksplorasi—bisa diadaptasi dalam berbagai gaya pengasuhan.

Kuncinya ada di kepekaan. Kamu sebagai orang tua (atau calon orang tua) harus cukup jeli membaca sinyal anak dan cukup fleksibel dalam menciptakan ruang aman. Dunia akan terus berubah, dan anak-anak kita akan menghadapi tantangan yang belum tentu kita pahami. Maka, tugas kita bukan mencetak replika dari diri kita, tapi mempersiapkan mereka jadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Pada akhirnya, menjadi orang tua adalah perjalanan yang penuh pencarian dan pembelajaran ulang. Free range parenting bukan soal membebaskan anak sebebasnya, tapi soal membebaskan dirimu dari ketakutan yang tak perlu—agar kamu bisa mendampingi dengan kesadaran, bukan kepanikan. Di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, keberanian untuk memberi kepercayaan pada anak justru bisa jadi bentuk cinta yang paling revolusioner. Jadi, daripada menghakimi, mari kita belajar lagi, refleksi lagi, dan memilih jalan yang lebih sadar—untuk kita, dan untuk generasi yang akan datang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us