Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Jenis Attachment Style dan Dampaknya pada Hubungan

illustrasi pasangan (pexels.com/cottonbro studio)
illustrasi pasangan (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Secure attachment, dasar hubungan yang seimbangOrang dengan secure attachment tumbuh dalam lingkungan hangat dan konsisten. Mereka nyaman dalam hubungan, komunikatif, dan mampu menyelesaikan konflik dengan tenang.
  • Anxious attachment, terjebak dalam ketakutan ditinggalkanTerbentuk dari inkonsistensi emosional, cenderung posesif dan overthinking. Rasa takut kehilangan dapat membuat hubungan menjadi rapuh.
  • Avoidant attachment, menjaga jarak demi merasa amanTumbuh dalam lingkungan yang menekankan kemandirian berlebihan. Sulit terbuka dan enggan berkomitmen secara utuh dalam hubungan.

Hubungan yang sehat bukan cuma soal cinta atau komunikasi, tapi juga tentang bagaimana seseorang terikat secara emosional sejak kecil. Teori attachment yang dikembangkan oleh John Bowlby menjelaskan bahwa gaya keterikatan seseorang terbentuk dari hubungan awal dengan pengasuh utama, biasanya orang tua. Pola ini akan terbawa sampai dewasa dan memengaruhi bagaimana seseorang menjalin hubungan dengan pasangan. Dari pola komunikasi, ekspresi cinta, sampai kemampuan menyelesaikan konflik, semuanya dipengaruhi oleh attachment style.

Attachment style terbagi menjadi lima jenis utama yaitu secure, anxious, avoidant, fearful avoidant, dan disorganized. Masing-masing memiliki karakteristik yang unik dan dampak yang berbeda terhadap dinamika hubungan. Memahami attachment style bukan sekadar pengetahuan psikologi, tapi bisa menjadi langkah awal untuk menyadari pola relasi dan menyusun strategi agar hubungan berjalan lebih sehat. Dengan mengenali gaya keterikatan ini, seseorang bisa lebih sadar diri dan berempati terhadap pasangannya.

1. Secure attachment, dasar hubungan yang seimbang

ilustrasi pasangan (freepik.com/freepik)
ilustrasi pasangan (freepik.com/freepik)

Orang dengan secure attachment biasanya tumbuh dalam lingkungan yang penuh kehangatan, konsistensi, dan keamanan. Mereka terbiasa merasakan bahwa kebutuhan emosionalnya didengar dan dipenuhi, sehingga membentuk rasa percaya diri yang kuat dalam menjalin hubungan. Gaya keterikatan ini membuat seseorang nyaman memberi dan menerima cinta tanpa rasa takut kehilangan atau ditolak. Mereka tahu cara membangun keintiman, tapi juga tetap menghargai batasan pribadi.

Dalam hubungan, individu dengan secure attachment cenderung komunikatif, jujur, dan suportif. Mereka mampu menyelesaikan konflik dengan tenang dan terbuka terhadap sudut pandang pasangannya. Rasa aman yang mereka bawa sejak kecil membuat mereka tidak mudah terpicu oleh kecemasan atau kecurigaan. Karena itu, mereka sering jadi pasangan yang stabil dan mampu memberi ruang tumbuh bagi hubungan yang sehat.

2. Anxious attachment, terjebak dalam ketakutan ditinggalkan

ilustrasi konflik pasangan (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi konflik pasangan (pexels.com/RDNE Stock project)

Anxious attachment berkembang ketika seseorang mengalami inkonsistensi emosional dari pengasuhnya. Kadang disayang, kadang diabaikan. Ketidakpastian ini menanamkan rasa cemas yang mendalam dan membuat seseorang terus mencari validasi dalam hubungan. Mereka sering kali merasa tidak cukup dicintai atau khawatir pasangan akan pergi kapan saja. Perasaan ini menciptakan siklus emosional yang melelahkan baik bagi dirinya maupun pasangannya.

Dalam hubungan romantis, orang dengan anxious attachment sering terlihat posesif, terlalu sering menghubungi, atau overthinking terhadap setiap sikap pasangan. Mereka membaca sinyal kecil sebagai tanda akan ditinggalkan, lalu bereaksi berlebihan. Meski niat mereka tulus untuk menjaga hubungan, rasa takut kehilangan justru bisa mendorong pasangan menjauh. Tanpa kesadaran dan pengelolaan emosi, anxious attachment bisa menciptakan hubungan yang rapuh.

3. Avoidant attachment, menjaga jarak demi merasa aman

illustrasi pasangan (pexels.com/Cody Portraits)
illustrasi pasangan (pexels.com/Cody Portraits)

Seseorang dengan avoidant attachment biasanya tumbuh dalam lingkungan yang menekankan kemandirian berlebihan atau kurang mengekspresikan kasih sayang secara emosional. Mereka belajar sejak kecil bahwa menunjukkan kebutuhan emosional dianggap lemah atau tidak diterima. Akibatnya, mereka membangun tembok tinggi dalam hubungan dan lebih nyaman menyendiri daripada bergantung pada orang lain.

Dalam dinamika asmara, individu dengan avoidant attachment sering terlihat dingin, sulit terbuka, dan menjauhi percakapan emosional. Saat hubungan mulai terasa terlalu dekat, mereka bisa menarik diri atau menciptakan jarak. Meskipun sebenarnya mereka juga merindukan keintiman, ketakutan untuk kehilangan kontrol atau terlihat rentan membuat mereka enggan berkomitmen secara utuh. Gaya ini sering menimbulkan frustrasi bagi pasangan yang mendambakan koneksi emosional yang lebih dalam.

4. Fearful avoidant attachment, dilema antara mendekat dan menjauh

ilustrasi pasangan (freepik.com/prostooleh)
ilustrasi pasangan (freepik.com/prostooleh)

Fearful avoidant attachment dikenal juga sebagai gaya keterikatan campuran yang penuh konflik batin. Orang dengan gaya ini biasanya mengalami trauma atau pengabaian yang cukup signifikan di masa kecil. Mereka menginginkan kedekatan, tapi pada saat yang sama takut akan luka emosional. Perasaan ingin dicintai tapi juga takut disakiti menciptakan pola hubungan yang tidak konsisten.

Dalam hubungan, mereka bisa bersikap hangat lalu tiba-tiba berubah jadi dingin tanpa alasan jelas. Ketika mulai merasa terlalu dekat, mereka panik dan menarik diri. Tapi ketika pasangan menjauh, mereka merasa terancam dan berusaha mendekat kembali. Pola tarik-ulur ini membuat hubungan terasa melelahkan bagi kedua belah pihak. Tanpa bantuan profesional atau refleksi mendalam, gaya ini sering menghambat hubungan berkembang lebih sehat.

5. Disorganized attachment, pola keterikatan yang kacau dan tidak terprediksi

ilustrasi pasangan overthinking (freepik.com/freepik)
ilustrasi pasangan overthinking (freepik.com/freepik)

Disorganized attachment terbentuk saat anak mengalami lingkungan yang penuh kekerasan, ancaman, atau perilaku pengasuh yang tidak bisa diprediksi. Dalam kasus ekstrem, orang tua bisa menjadi sumber kenyamanan sekaligus ancaman. Hal ini membingungkan anak dan menyebabkan kebingungan tentang cinta, kepercayaan, dan rasa aman. Mereka tumbuh dengan persepsi bahwa hubungan dekat itu berisiko dan membahayakan.

Saat dewasa, individu dengan disorganized attachment sering mengalami kesulitan membangun hubungan yang stabil. Mereka bisa bersikap sangat dekat lalu tiba-tiba mendorong pasangan menjauh. Emosi mereka sering meledak-ledak dan sulit dikendalikan. Rasa percaya yang rapuh membuat mereka kesulitan mempercayai pasangan sepenuhnya. Tanpa penyembuhan trauma, mereka cenderung terjebak dalam hubungan yang penuh kekacauan emosional.

Memahami attachment style bukan sekadar teori psikologi, tapi cara untuk mengenali pola emosional yang mungkin sudah terbentuk sejak kecil. Gaya keterikatan ini memang tidak bisa diubah secara instan, tapi bisa dipahami dan dikelola dengan kesadaran dan kemauan untuk berkembang. Dengan memahami gaya keterikatan diri sendiri dan pasangan, hubungan bisa dibangun dengan fondasi yang lebih kuat dan sehat.

Hubungan yang dewasa membutuhkan kerja sama dua pihak untuk saling memahami dan tumbuh bersama. Mengenali akar dari kecemasan, keinginan menjauh, atau tarik-ulur emosi bisa membantu menyusun strategi yang lebih bijak dalam membangun relasi. Saat dua orang sadar terhadap pola keterikatan masing-masing, mereka punya peluang lebih besar menciptakan hubungan yang penuh kasih dan tahan lama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us