Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Banyak Perwira Polisi Duduki Jabatan Sipil, UU Polri Digugat ke MK

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Seorang mahasiswa doktoral sekaligus advokat, Syamsul Jahidin, mengajukan uji materi Pasal 28 ayat 3 dan Penjelasan Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Syamsul sebagai pemohon secara khusus mempermasalahkan mengenai Dwifungsi Polri, di mana banyak polisi aktif merangkap jabatan di ranah sipil. Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat ini, dilaksanakan di Ruang Sidang Panel MK, Selasa (29/7/2025).

Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian".

Sementara, penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri."

Menurut Syamsul, pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28D ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

1. Soroti banyak polisi aktif duduki jabatan sipil di luar Polri

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Syamsul mengatakan, pada tatanan praktik, terdapat anggota polisi aktif menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. Hal demikian sejatinya bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

Dengan adanya ketidakjelasan pelaksanaan norma pasal tersebut, serta tidak adanya pembatasan yang pasti terkait dengan penjelasan dalam aturan hukum tersebut, hal ini memberikan celah bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa melepaskan status keanggotaannya secara definitif.

Pasal 28 ayat 3 UU Polri telah menciptakan ketidaksetaraan dalam hukum dan pemerintahan, sehingga melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum dan mengabaikan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

2. Dwifungsi Polri: Bertindak sebagai keamanan negara sekaligus berperan di pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat

04f02bfc-7736-42bb-b7ec-302746e22abb.jpeg
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Kota Sukabumi (IDN Times/Siti Fatimah)

Syamsul menganggap norma tersebut secara substantif menciptakan Dwifungsi Polri, karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, serta kehidupan sosial masyarakat.

Penempatan polisi aktif di legislatif melanggar prinsip netralitas Polri serta prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Apabila terdapat anggota Polri aktif yang menduduki jabatan di luar dari institusi Polri, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip legalitas, asas netralitas, dan asas pemisahan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Hal ini juga dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan mengganggu independensi fungsi lembaga tertentu.

“Bahwa penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan legislatif bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, serta prinsip Trias Politica. Apabila anggota Polri aktif menjabat sebagai anggota legislatif, maka terjadi percampuran fungsi eksekutif dan legislatif yang melanggar prinsip pemisahan kekuasaan, karena seseorang yang seharusnya melaksanakan hukum malah juga berperan dalam politik,” jelas Syamsul.

3. Polisi yang ingin menduduki jabatan di luar institusi kepolisian harus mengundurkan diri permanen

IMG-20250725-WA0008.jpg
Ilustrasi Polisi (IDN Times/Aryodamar)

Pemohon memohon agar MK menyatakan Pasal 28 ayat 3 UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak. Dimaknai "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri secara permanen dan tidak lagi berstatus sebagai anggota aktif Polri."

Selain itu, Pemohon juga memohon agar MK menyatakan Penjelasan Pasal 28 ayat 3 UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang dimaknai "Bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum mengundurkan diri atau pensiun tidak dapat secara sah menduduki jabatan sipil, termasuk jabatan Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia".

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasihati Pemohon agar menguraikan syarat-syarat kerugian atas berlakunya norma yang diujikan pada permohonannya.

“Ada tidak hak-hak yang tercederai oleh berlakunya norma ini, yang penting uraikan syarat kerugiannya dan ada tidak sebab-akibatnya dan baru disimpulkan. Setelahnya alasan permohonan, apa uraian yang meyakinkan kami memang ada persoalan dengan dasar pengujiannya berupa Pasal 1 ayat 3, karena ini berkaitan pula dengan petitumnya, tetapi ini sama dengan norma pokoknya,” ujar Enny.

Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan nasihat agar Pemohon mengelaborasi kerugian konstitusionalnya atas keberlakuan norma yang diujikan pada MK. Kemudian Hakim Konstitusi Arief mengatakan agar Pemohon meringkas permohonan terutama pada bagian posita Pemohon.

“Positanya tidak jelas sama sekali,” kata Hakim Konstitusi Arief.

Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Arief menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Senin, 11 Agustus 2025. Selanjutnya MK akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us