Cerita Pemohon UU Hak Cipta, Ada Penyanyi Diupah Cuma Rp300 Ribu

- Idealnya royalti dibayarkan penyelenggara atau pengundang acara
- Larang-melarang sudah tidak relevan, terutama bagi anggota Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)
- Jiwa masyarakat Indonesia gotong-royong, menurut Hakim MK Arief Hidayat
Jakarta, IDN Times - Koalisi Pembela Insan Musik Indonesia (Klasika) mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perkara tersebut diajukan sejumlah penyanyi dan teregister dengan nomor 37/PUU-XXIII/2025. Kini perkara tersebut memasuki babak akhir, setelah menggelar sidang terakhir yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2025).
Saat ditemui usai persidangan, kuasa hukum pemohon, David Surya, mengisahkan pengalaman pahit seorang penyanyi yang hanya dibayar Rp300 ribu. Nominal itu dihasilkan karena mendapat potongan dari penyelenggara yang mengundang, dengan dalih untuk berjaga sewaktu-waktu diminta royalti. Penyanyi tersebut sempat dihadirkan sebagai saksi persidangan.
"Kami sebagai kuasa dari pelaku pertunjukan atau artis justru yang memang pelaku pertunjukan yang jumlahnya lebih banyak , daripada artis-artis yang mungkin kita kenal selama ini. Jadi bahkan kemarin kita bawa saksi fakta, artis yang memang hanya berpenghasilan Rp300 ribu saja. Jadi jangan diartikan bahwa artis atau pelaku pertunjukan itu selalu harus yang top papan atas, yang harus menghasilkan ratusan juta atau miliaran," kata dia kepada jurnalis.
Oleh sebab itu, pemohon mengajukan uji materiil terhadap UU Hak Cipta, agar publik memahami ada penyanyi yang mengandalkan hidupnya sehari-hari dari menyanyikan lagu-lagu ciptaan orang lain.
Dengan kondisi tersebut, tim kuasa hukum pemohon sendiri memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada pemohon alias pro bono.
1. Idealnya royalti dibayarkan penyelenggara atau pengundang acara

David menjelaskan, idealnya royalti pencipta lagu bukan dibayarkan si penyanyi yang membawakan lagu, melainkan pihak penyelenggara atau pengundang penyanyi tersebut.
"Ya, pemohon melihatnya idealnya harusnya dilakukan oleh penyelenggara. Karena memang pelaku pertunjuk atau artis hanya membawakan lagu pesanan-pesanan saja. Nah, si penyelenggara konsernya yang harus melakukan itu. Supaya si senimannya bisa dengan bebas berekspresi, bebas mengakomodasi request-request lagu dari yang hadir," ungkapnya.
2. Larang-melarang sudah tidak relevan

David secara khusus menyoroti pandangan yang disampaikan ahli dari pemerintah, yakni Guru Besar Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran, Ahmad M Romli. Dalam persidangan, Romli menyebut larang-melarang menyanyikan lagu sudah tidak relevan lagi. Apalagi jika penyanyi tersebut merupakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Bahkan tadi juga Prof Ramli juga mengatakan bahwa larang-melarang itu sebenarnya sudah tidak bisa lagi, apalagi ketika mereka sudah menjadi anggota dari LMK atau LMKN. Kecuali mereka memilih opsi mekanisme keluar," ujarnya.
Sementara, jika ada musisi yang memilih keluar dari keanggotan LMKN, maka konsekuensinya, lagu yang dibuat si pencipta tidak akan dipakai penyanyi lain karena keberatan dengan royalti yang diajukan.
"Tapi kalau pun itu mereka lakukan (keluar) maka ada konsekuensinya, kalau menurut Prof Ramli adalah akhirnya user atau pengguna tidak akan mau lagi menggunakan lagu-lagu dari band-band atau orang-orang yang memilih mekanisme out atau memilih untuk larang-melarang orang menggunakan lagunya," jelas David.
"Karena yang paling penting adalah user atau pengguna dengan makin banyak pengguna yang terus-menerus menggunakan lagu itu atau justru malah mengandalkan lagu itu maka akhirnya royalti ataupun hak ekonomi dari pencipta itu justru akan mengikuti itu," sambung dia.
3. Jiwa masyarakat Indonesia gotong-royong

Lebih lanjut, kata David, segelintir pencipta lagu yang ingin ada hak eksklusif tidak sejalan dengan semangat gotong-royong yang menjadi prinsip Indonesia. Hal itu juga sempat disinggung Hakim MK, Arief Hidayat.
"Saya ingin mengutip apa yang disampaikan oleh Prof Arief Hidayat kemarin bahwa jiwa masyarakat Indonesia adalah jiwa gotong royong, bukan individualis kapitalis. Jadi di situ ada fungsi sosial dari ciptaan, ada fungsi di mana lagu itu harus bisa digunakan oleh orang lain," imbuh dia.
Adapun, perkara nomor 37/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima pelaku pertunjukan yang tergabung dalam grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band serta Saartje Sylvia, pelaku pertunjukan ciptaan yang dijuluki sebagai Lady Rocker pertama.
T’Koes Band kerap menampilkan lagu-lagu lawas yang dulu dinyanyikan orang lain seperti Koes Plus, D’Mercys, hingga Everly Brothers dan The Beatles. Akan tetapi kemudian T’Koes Band dilarang mempertunjukan lagu-lagu dari Koes Plus per 22 September 2023 melalui para ahli waris dari Koes Plus.
Menurutnya, hal tersebut membuktikan penerapan Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta yang berbunyi “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta” telah merugikan Pemohon, dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin.
Padahal, kata pemohon, setiap pertunjukan T’Koes Band telah meminta license dan atau membayar royalti kepada LMK di Indonesia, dan melakukan pendekatan dengan menyerahkan sejumlah nominal uang tertentu kepada sebagian ahli waris Koes Plus, walau pun mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta yang hadir langsung di ruang sidang mengatakan penolakan ahli waris sebagai pemegang hak cipta kepada pemohon, untuk mempertunjukan karya dari Koes Plus merupakan persoalan konkret dan implementasi penerapan dari ketentuan UU Hak Cipta. Karena itu, menurutnya, perlu penyelesaian bersama antara para pemohon, pemegang hak cipta, dan LMK/LMKN yang menjadi wadah para pemohon untuk membayar royalti.