MK Terima Semua Perbaikan Permohonan Uji Materiil UU Hak Cipta

- Vibrasi Suara Indonesia (VISI) kembali menyuarakan aspirasi pelaku pertunjukan musik dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK).
- MK telah menerima seluruh perbaikan permohonan dari para hakim konstitusi terkait perkara Nomor 28 dan 37/PUU-XXIII/2025.
- Pemohon menyatakan ketidakpastian hukum mengenai hak pertunjukan dan sistem perizinan lagu telah menimbulkan kerugian konstitusional nyata.
Jakarta, IDN Times - Sistem direct licensing alias pembayaran royalti langsung belakangan ini menjadi topik yang semakin meruncing di kalangan penyanyi dan musisi Tanah Air. Teranyar, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang terdiri atas 29 musisi dan penyanyi kembali menyuarakan aspirasi pelaku pertunjukan musik dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/5/2025).
Sidang tersebut membahas perkara Nomor 28 dan 37/PUU-XXIII/2025, terkait Perbaikan Permohonan Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Sidang Perkara Nomor 28 dan 37 Rabu, 7 Mei 2025 dibuka untuk umum," ujar Hakim MK, Saldi Isra dikutip Kamis (8/5/2025).
1. MK terima seluruh perbaikan permohonan

Dari sidang yang digelar tersebut, MK telah menerima seluruh perbaikan permohonan, termasuk masukan dari para hakim konstitusi. Seluruh bukti permohonan, yakni P-1 hingga P-106 telah dinyatakan sah. Tidak ada satu pun Pemohon yang menarik diri dari permohonan.
Sidang tersebut juga menandai selesainya tahap administratif dan substansi awal permohonan. Adapun sidang akan dilanjutkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dijadwalkan minggu depan.
Jika mayoritas hakim menyatakan sudah cukup jelas, maka putusan dapat langsung dijatuhkan tanpa melalui sidang pleno. Namun, jika dinilai masih perlu pendalaman, maka perkara ini akan dibawa ke rapat pleno untuk pembahasan lebih lanjut.
2. VISI keberatan atas ketidakpastian hukum UU Hak Cipta

Sebelumnya, VISI bersama para pemohon dari kalangan penyanyi profesional menegaskan, ketidakpastian hukum mengenai hak pertunjukan dan sistem perizinan lagu telah menimbulkan kerugian konstitusional nyata.
Adapun dua pemohon yang menjadi perhatian dalam sidang di MK adalah Tantri Kotak dan Hedi Yunus. Keduanya menyampaikan dampak langsung dari pemberlakuan sistem direct licensing secara sepihak oleh pencipta lagu.
"Penyanyi yang tergabung dalam VISI merasa keberatan karena mereka turut membesarkan dan mempopulerkan lagu-lagu tersebut, terutama penyanyi original. Bahkan banyak penyanyi yang juga menjadi produser dari karya-karya mereka. Mereka memberikan tenaga, mempromosikannya, dan bahkan mengeluarkan materi untuk karya-karya tersebut," tulis VISI dalam keterangan resminya.
3. Pembatasan terhadap ruang berekspresi musisi

Sebagai Vokalis Kotak, Tantri mengaku terpaksa menghentikan penampilan lagu-lagu hits ciptaan mantan rekan satu band-nya karena adanya larangan dan somasi, meskipun lagu-lagu tersebut telah menjadi bagian penting dari karier dan identitas musikalnya.
Sementara Hedi Yunus, penyanyi senior dari grup Kahitna, juga harus menghentikan penampilan lagu “Melamarmu” akibat tekanan penggunaan lisensi langsung yang menimbulkan ketakutan hukum.
"VISI menilai situasi ini sebagai bentuk ketidakadilan sistemik yang membatasi ruang berekspresi para musisi dan pelaku seni pertunjukan lainnya, serta bertentangan dengan jaminan hak atas rasa aman, kepastian hukum, dan kebebasan berkarya sebagaimana tertuang dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945," sebut VISI.
"VISI berharap Mahkamah Konstitusi dapat melihat pentingnya menjamin rasa aman dan keadilan hukum bagi para pelaku pertunjukan, serta mendesak agar UU Hak Cipta dikaji ulang untuk memberikan perlindungan yang setara, adil, dan sejalan dengan prinsip konstitusional," sambungnya.