Fakta Kekerasan ART di Batam: Dipaksa Makan Kotoran Anjing-Minum Air Kloset

- Dipaksa memakan kotoran hewan peliharaan dan minum air dari kloset
- Hampir setahun menahan pilu, pelaku ditetapkan sebagai tersangka
- R dan MLP dijerat Pasal 44 Ayat (2) UU Penghapusan KDRT
Jakarta, IDN Times – ITN (22), seorang asisten rumah tangga muda, tak pernah menyangka keputusannya bekerja di rumah R (43) akan berubah menjadi mimpi buruk. Tubuhnya kini menyimpan jejak luka, namun hatinya mungkin lebih remuk dari apapun. Sebuah video berdurasi 10 detik memperlihatkan aksi kekerasan terhadapnya, tersebar luas di Facebook dan mengetuk nurani publik. Tak sedikit yang merasa muak, marah, sekaligus pilu. Aksi bejat ini dilakukan R dengan rekannya yakni MLP (20).
Pada Senin, 23 Juli 2025 Polresta Barelang menggelar ekspos Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang keji ini. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim AKP Debby Tri Andrestian, berikut adalah fakta-fakta ART yang dipaksa makan kotoran anjing hingga minum air kloset di Batam dari keterangan resmi Polresta Barelang.
1. Dipaksa makan kotoran hewan peliharaan dan minum air dari kloset

Dalam video itu, sepotong kenyataan tergambarkan kekerasan pada yang lemah masih terus terjadi di era modern ini, usai Indonesia merdeka 79 jelang usia 80 tahun. Penderitaan ITN tak berhenti di pemukulan. Kepada polisi, dia menceritakan pengalaman perih di balik tembok rumah majikannya. Dia dipaksa memakan kotoran hewan peliharaan, minum air dari kloset, hingga menerima pemotongan gaji yang tak wajar.
2. Hampir setahun menahan pilu

AKP Debby menyebut tindakan tak manusiawi itu berlangsung berulang sejak Juli 2024. Polisi menjelaskan pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka hanya sehari setelah laporan masuk pada 22 Juni 2025. R (43) dan rekannya MLP (20) diamankan di Perumahan Bukit Indah Sukajadi, Kota Batam.
3. R dan MLP dijerat Pasal 44 Ayat (2) UU Penghapusan KDRT

Barang bukti seperti raket nyamuk listrik, ember, hingga “buku dosa” yang digunakan pelaku, kini disita polisi. R dan MLP dijerat Pasal 44 Ayat (2) UU Penghapusan KDRT dengan ancaman 10 tahun penjara. Namun lebih dari sekadar vonis, kasus ini membuka luka lama relasi kuasa dalam rumah tangga yang sering tak berpihak pada pekerja domestik.