KPK Bidik Pelaku Intelektual dalam Kasus Kuota Haji Era Menag Yaqut

- Dugaan kasus ini merugikan negara sekitar Rp1 triliun menurut perhitungan sementara internal KPK.
- SK Menteri Yaqut jadi salah satu bukti, nerdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia. Pemerintah mendapatkan 20 ribu kuota haji tambahan.
- KPK akan mendalami SK tersebut apakah usulan dari bawah ke atas (bottom up) atau perintah dari atas ke bawah (top down).
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mencari pelaku intelektual dalam dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama 2023-2024.
“Jadi, tidak hanya eksekutornya saja tetapi siapa yang jadi mastermind-nya. Jadi, siapa yang memberikan perintah dan lain-lain, kemudian terkait dengan aliran uangnya,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, Selasa (12/8/2025).
1. SK Menteri Yaqut jadi salah satu bukti

Berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia. Sedangkan 92 persennya untuk kuota haji reguler.
Pemerintah mendapatkan 20 ribu kuota haji tambahan. Seharusnya haji reguler yang semula hanya 203.320 akan bertambah menjadi 221.720 orang, sedangkan haji khusus yang semula 17.680 akan bertambah menjadi 19.280 orang.
Namun, dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas pada 15 Januari 2024 justru mengatur pembagian 10 ribu untuk kuota haji reguler dan 10 ribu untuk kuota haji khusus. KPK akan mendalami SK tersebut apakah usulan dari bawah ke atas (bottom up) atau perintah dari atas ke bawah (top down).
“SK itu menjadi salah satu bukti, kita perlu banyak bukti, satu sudah kita peroleh itu SK, tentunya kita harus mencari bukti lain yang menguatkan. Apakah yang bersangkutan (Yaqut Cholil Qoumas) merancang sendiri SK itu atau apakah SK itu sudah jadi lalu disodorkan kepada yang bersangkutan untuk ditandatangani. Ini yang kita dalami,” ungkap Asep.
3. Kerugian negara Rp1 triliun lebih

Berdasarkan perhitungan sementara internal KPK, diduga kasus ini merugikan negara. Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai Rp1 triliun.
Kendati demikian, hitungan tersebut belum melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).