Jelang Uji Publik Penulisan Ulang Sejarah, Tim Penulis Respons Kritik

- Uji publik sebagai tindak lanjut sorotan terhadap draf sejarah resmi
- Penulisan sejarah tidak boleh tergesa-gesa untuk pemahaman generasi muda
- Materi prasejarah dihilangkan dari kurikulum, menimbulkan tantangan bagi para ahli arkeologi dan prasejarah
Jakarta, IDN Times - Tim penyusun sejarah nasional Indonesia akan memulai uji publik terhadap naskah sejarah program penulisan ulang sejarah yang tengah dilakukan pemerintah lewat Kementerian Kebudayaan pada Juli ini.
Sejarahwan sekaligus Ketua tim penulis, Prof. Dr. Susanto Zuhdi mengungkapkan proses ini sebagai bentuk keseriusan tim dalam menampung masukan publik sekaligus merespons kritik terhadap proses penulisan yang dinilai kurang terbuka.
"Kami akan memulai nanti tanggal 23. Mudah-mudahan lancar,” ujar Susanto dalam Webinar Penulisan Sejarah Ulang yang diselenggarakan Perhimpunan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Sabtu (12/7/2025).
1. Kerap dihubungi komunitas hingga masyarakat adat

Uji publik ini menjadi tindak lanjut dari sorotan publik terhadap draf awal sejarah resmi yang dianggap belum mencakup seluruh wilayah, tokoh, dan peristiwa penting. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR, Susanto mengungkap tiga poin rekomendasi penting, mulai tidak tergesa-gesa, melibatkan publik seluas mungkin, dan melakukan uji publik.
Dia juga mengaku keterlibatan masyarakat sangat tinggi, bahkan berbagai komunitas dan institusi aktif mengirimkan masukan dan bahan sejarah ke tim penulis.
“Saya hampir setiap hari dihubungi kelompok masyarakat, komunitas sejarah, budaya, dan sebagainya. Untuk supaya, eh jangan lupa ya, daerah saya, tokoh saya," katanya.
Penyusun ulang Sejarah Nasional Indonesia ini diketahui melibatkan 113 sejarawan dari seluruh Nusantara.
2. Penulisan sejarah jangan tergesa-gesa

Sementara, penulisan sejarah yang tergesa-gesa dapat mengaburkan pemahaman generasi muda terhadap akar identitas bangsa. Hal ini diungkapkan Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dra. Anggraeni.
“Proses penulisan yang tergesa-gesa berpotensi menyebabkan terbatasnya informasi meskipun juga membuka peluang untuk evaluasi dan peninjauan ulang oleh berbagai pihak,” ujar dia dalam kesempatan yang sama.
3. Soroti hilangnya materi prasejarah

Di samping penulisan ulang sejarah Indonesia, dia menyoroti fakta materi prasejarah dihilangkan dari buku wajib mata pelajaran sejarah dalam Kurikulum Merdeka jenjang SMA, dengan dalih bahwa topik tersebut telah dipelajari di SMP. Akibatnya, pelajaran sejarah di tingkat SMA langsung dimulai dari pengaruh Hindu-Buddha.
Namun, penghilangan ini dinilai problematis. Ketua Asosiasi Guru Sejarah Seluruh Indonesia mengonfirmasi banyak guru kesulitan menjelaskan perkembangan masyarakat Indonesia tanpa fondasi prasejarah.
"Ketua Asosiasi Guru Sejarah seluruh Indonesia menyampaikan bahwa dalam Curriculum 2021 yang dikenal sebagai Curriculum Merdeka, materi prasejarah dihilangkan. Dalihnya adalah materi prasejarah sudah diberikan di SMP. Dari Curriculum Merdeka untuk SMA, kemudian disusun buku wajib untuk mata pelajaran IPS yang menghilangkan materi prasejarah," kata dia.
4. Tantangan para ahli arkeologi dan prasejarah

Dia menambahkan, tantangan bagi para ahli arkeologi dan prasejarah adalah menyebarluaskan temuan penelitian mereka dalam bentuk yang menarik dan mudah dipahami masyarakat. Tanpa itu, istilah prasejarah bisa makin terasing dari kesadaran publik.
"Akhirnya, perlu kita sadari sekali lagi bahwa banyak data perlu dikumpulkan dan diuraikan berkait hasil pertemuan penelitian prasejarah dan arkeologi terkini," katanya.