Dasco: Jangan Tuduh Penulisan Ulang Sejarah untuk Kepentingan Penguasa

- Komisi X akan panggil Fadli Zon
- Legislator PDIP minta Fadli Zon hentikan penulisan ulang sejarah
- Ingatkan Fadli Zon terkait temuan TGPF
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta publik tidak menuduh proyek penulisan ulang sejarah oleh pemerintah demi mengakomodir kepentingan penguasa.
Adapun, proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan memunculkan reaksi penolakan dari masyarakat luas, karena dinilai bertujuan menutupi fakta serta peristiwa tertentu pada masa lalu.
“Begini, kita kan enggak tahu, jangan menuduh ada kepentingan dari penguasa,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Menurut Dasco, proses penulisan ulang sejarah kini masih terus berlangsung. Komisi X DPR RI juga terus mengawal pelaksanaannya, serta mendalami materi-materi yang akan dimuat.
“Kan itu baru akan didalami oleh Komisi X. Nah setelah didalami baru diambil kesimpulan, jangan diambil kesimpulan sekarang,” kata Dasco.
1. Komisi X akan panggil Fadli Zon

Dalam kesempatan itu, ia mengatakan, Komisi X DPR RI juga telah menjadwalkan rapat dengar pendapat dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Rapat tersebut dalam rangka meminta klarifikasi Fadli Zon yang menyangkal peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998.
“Komisi terkait saya dengar akan meminta menteri yang bersangkutan untuk memberikan keterangan di DPR, saya pikir itu bagus, untuk men-clear-kan hal-hal yang kemudian menjadi polemik di masyarakat,” kata dia.
2. Legislator PDIP minta Fadli Zon hentikan penulisan ulang sejarah

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Bonnie Triyana, mendesak Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah jika tujuannya bersiat politis.
Apalagi, kata dia, tujuan penulisan ulang sejarah ini hanya demi menyeleksi cerita perjalanan bangsa Indonesia sesuai keinginan kekuasaan.
Kementerian Kebudayaan saat ini tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Namun dalam draf Kerangka Konsep Penulisan ‘Sejarah Indonesia’ ini, ternyata sejumlah pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan.
Beberapa pelanggaran HAM yang ‘disetip’ dalam proyek penulisan ulang sejarah itu di antaranya seperti soal pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998, penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, serta kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.
"Jangan lakukan penulisan sejarah melalui pendekatan kekuasaan yang bersifat selektif dan parsial atas pertimbangan-pertimbangan politis. Apabila ini terjadi, lebih baik hentikan saja proyek penulisan sejarah ini," kata Bonnie.
3. Ingatkan Fadli Zon terkait temuan TGPF

Bonnie menilai, Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan yang menggagas proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, mestinya tidak melanggengkan budaya penyangkalan atas tindak kekerasan, terutama kekerasan seksual pada kaum perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial pada tahun 1998.
Fadli menyebut, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pernah 'membantah' dan 'tak bisa membuktikan' laporannya yang mengungkap kesaksian dan bukti bahwa para perempuan menjadi target perkosaan.
Padahal, laporan TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan Mei 1998. Adapun bentuk kekerasan seksual itu dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
TGPF juga mengungkap bahwa selain korban-korban perkosaan massal yang terjadi dalam kerusuhan Mei ‘98, ditemukan pula korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan.
"Kalau semangat menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara berpikirnya parsial dengan mempersoalkan istilah massal atau tidak dalam kekerasan seksual tersebut, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban perkosaan," kata Bonnie.