Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Wamenko Otto Soroti Polemik Hak Cipta, Revisi UU Perlu Sesuaikan Zaman

Ilustrasi panggung hiburan
Acara Indonesian Prison Products and Arts Festival (IPPA Fest) 2025 oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan,di Pantai Indah Kapuk 2, Jakarta, Jumat (8/8/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)
Intinya sih...
  • Revisi UU Hak Cipta diharapkan memberikan kepastian hukum yang lebih tegas
  • Langganan musik pribadi tidak mencakup hak memutar musik untuk hal komersial di ruang publik
  • Tarif royalti restoran dan kafe ditetapkan sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, menanggapi polemik yang berkembang di masyarakat terkait penerapan hak cipta. Otto mengatakan hak cipta merupakan persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.

"Memang copyright itu suatu persoalan yang memang mendasar ya, karena ini merupakan hak cipta, merupakan kreasi, yang merupakan the son of the soul dari pada penciptanya," kata Otto saat ditemui jurnalis di kawasan PIK 2, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (8/8/2025).

Menurut Otto, Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku saat ini memerlukan sejumlah penyesuaian, agar relevan dengan perkembangan zaman. Penyesuaian itu mencakup penerapan aturan terkait Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) serta kebutuhan masyarakat.

"Jadi saya kira memang ada beberapa hal-hal undang-undang tersebut yang perlu penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan pengembangan zaman. Penerapan tentang bagaimana LMK, kebutuhan-kebutuhan masyarakat, juga menjadi perhatian kita juga," ujarnya.

1. Berharap revisi UU Hak Cipta bisa memberikan kepastian hukum yang lebih tegas

Wakil Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Permasyarakatan, Otto Hasibuan
Wakil Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Permasyarakatan, Otto Hasibuan (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Otto mengatakan, beberapa putusan pengadilan terkait hak cipta tidak sesuai dengan harapan publik. Dia mencontohkan kasus yang terjadi di restoran Bali serta polemik yang melibatkan penyanyi Agnez Mo.

"Mudah-mudahan dengan kasus seperti itu, nanti pemerintah segera dapat menyesuaikan, dan melakukan perubahan undang-undang untuk kepentingan dan juga untuk penciptanya, dan juga untuk pelaku-pelaku termasuk penyanyi dan sebagainya," ungkapnya.

Pemerintah, kata Otto, berharap revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tegas, melindungi para pencipta, dan memberi rasa keadilan bagi seluruh pelaku industri kreatif di Indonesia.

2. Langganan musik pribadi tak mencakup hak memutar musik untuk hal komersial di ruang publik

Ilustrasi aplikasi
ilustrasi aplikasi musik (pexels.com/cottonbro studio)

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan, pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, seperti restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta maupun pemilik hak terkait.

Ketentuan ini tetap berlaku meskipun pelaku usaha sudah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau platform streaming lainnya.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menjelaskan langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak memutar musik untuk kepentingan komersial di ruang publik.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” kata Agung di Kantor DJKI, Jakarta Selatan, 28 Juli 2025.

3. Tarif royalti restoran dan kafe ditetapkan Rp60 ribu per kursi per tahun

Ilustrasi hukum
ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Pembayaran royalti dilakukan lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik. LMKN berperan mengumpulkan dan menyalurkan royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Skema ini memastikan transparansi dan keadilan bagi industri musik, sekaligus memudahkan pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi dari tiap pencipta lagu secara terpisah. Dengan begitu, hak ekonomi pencipta tetap terjaga, sementara pengguna lagu dapat berusaha dengan tenang.

Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM, menyatakan tarif royalti untuk restoran dan kafe ditetapkan sebesar Rp60 ribu per kursi per tahun untuk hak pencipta dan Rp60 ribu untuk hak terkait (penyanyi dan produser), sehingga total mencapai Rp120 ribu per kursi per tahun.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us