Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Polemik Royalti Lagu, Ahli Pemerintah Akui UU Hak Cipta Harus Direvisi

berita_1754561429_a32d85a1ab83e9120daa.jpg
Guru Besar Universitas Padjajaran Ahmad M. Ramli selaku Ahli Pemerintah menyampaikan keterangan pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (dok. Humas MK)
Intinya sih...
  • UU Hak Cipta perlu direvisi karena penggunaan artificial intelligence (AI) yang semakin marak digunakan.
  • Penggunaan AI harus diatur secara jelas dalam UU Hak Cipta agar statusnya legal atau ilegal, serta memperhatikan hasil akhirnya terhadap hak cipta milik orang lain.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran, Ahmad M Ramli, mengatakan, lagu kebangsaan Indonesia Raya bebas dari pembayaran royalti.

Hal itu disampaikan Ramli saat menjadi ahli yang dihadirkan Presiden/pemerintah dalam sidang uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 dengan nomor perkara 28, 37/PUU-XXIII/2025 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (7/8/2025).

"Jika kami ingin menyampaikan dan secara objektif dari hasil berbagai riset yang kami lakukan, undang-undang ini sudah harus direvisi," kata dia.

1. Soroti masalah akal imitasi

Ilustrasi Artificial Intelligence atau AI (Freepik/Rawpixel)
Ilustrasi Artificial Intelligence atau AI (Freepik/Rawpixel)

Ramli menjelaskan, salah satu alasan mengapa UU Hak Cipta perlu direvisi adalah adanya penerapan akal imitasi atau artificial intelligence (AI) yang semakin marak digunakan.

"Apa yang mendorong undang-undang ini harus direvisi, yang pertama adalah munculnya artificial intelligence. Di mana artificial intelligence itu hanya akan bisa melakukan produk-produknya secara generatif sebagai AI generatif kalau dia bisa dilatih dengan data-data yang juga dilindungi hak cipta," ujar dia.

Menurut dia, ke depan UU Hak Cipta harus secara jelas mengatur soal posisi penggunaan AI agar statusnya jelas, apakah ilegal atau legal. Dengan begitu, diharapkan ke depan sudah tidak ada lagi ruang abu-abu terkait legalitas AI dalam aturan hak cipta.

"Dengan demikian, maka perlu diatur kapan sebuah penggunaan AI itu dianggap serius, dianggap penggunaan wajar atau kapan dia tidak dianggap penggunaan wajar," kata dia.

2. Penggunaan AI dianggap wajar atau serius?

Ilustrasi Artificial Intelligence.
Ilustrasi Artificial Intelligence. (Pixabay/geralt)

Sebenarnya, kata Ramli, masalah AI dan hak cipta di dunia saat ini mulai ada perkembangan. Dalam salah satu tulisan yang dibuat oleh kampus ternama, disebutkan bahwa seharusnya semua bahan pelatihan yang digunakan AI itu dianggap serius.

Ia mengatakan, yang bisa dipermasalahkan dari penggunaan AI ini ialah hasil akhirnya, apakah ketika digunakan mengganggu eksistensi dari hak cipta milik orang lain.

Oleh sebab itu, masalah teknologi AI dan kaitannya dengan hak cipta ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk dituangkan dalam revisi UU Hak Cipta.

"Yang harus di soal itu adalah output-nya, apakah output itu mengganggu tidak eksistensi materi berhak yang sudah ada. Ini salah satu apa solusi yang mereka tawarkan dan salah satu pengadilan federal di Amerika juga sudah memutuskan bahwa penggunaan ai adalah serius. Jadi saya kira ini harus dipelajari lagi," kata dia.

3. Dua permohonan uji materiil terkait UU Hak Cipta

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Diketahui, saat ini ada dua permohonan uji materiil UU Hak Cipta yang sedang berproses di MK.

Para pemohon Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 terdiri dari Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, Nazriel Irham atau akrab disapa Ariel, bersama 27 musisi lainnya sebagai pelaku pertunjukan yang telah berkarya di industri musik Indonesia berpotensi mengalami masalah hukum dari pasal-pasal yang diuji tersebut.

Pengujian ini berangkat dari beberapa kasus, misalnya yang dialami Agnes Monica atau lebih dikenal Agnez Mo. Agnez Mo digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu “Bilang Saja,” karena Agnez Mo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutus gugatan tersebut dengan menghukum Agnez Mo mengganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias dan Agnez Mo pun dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tuduhan pelanggaran Pasal 113 Ayat 2 UU Hak Cipta.

Sementara, Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima pelaku pertunjukan yang tergabung dalam grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band serta Saartje Sylvia, pelaku pertunjukan ciptaan yang dijuluki sebagai Lady Rocker pertama. T’Koes Band kerap menampilkan lagu-lagu lawas yang dulu dinyanyikan orang lain seperti Koes Plus, D’Mercys, hingga Everly Brothers dan The Beatles. Namun kemudian, T’Koes Band dilarang mempertunjukan lagu-lagu dari Koes Plus per 22 September 2023 melalui para ahli waris dari Koes Plus.

Menurut dia, hal tersebut membuktikan penerapan Pasal 9 Ayat 2 UU Hak Cipta yang berbunyi, “Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta,” telah merugikan pemohon dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin.

Padahal, kata pemohon, setiap pertunjukan T’Koes Band telah meminta license dan/atau membayar royalti kepada LMK di Indonesia dan melakukan pendekatan dengan menyerahkan sejumlah nominal uang tertentu kepada sebagian ahli waris Koes Plus walaupun mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Share
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us