Sidang UU Hak Cipta, Nasib Pengamen Kena Royalti Jadi Pembahasan

- Perlu ada pembatasan terkait aturan royalti, jangan sampai orang-orang seperti pengamen jalanan harus membayar royalti
- Ahli berpendapat harus ada aturan detail dalam UU Hak Cipta
- Saat ini ada dua permohonan uji materiil terkait UU Hak Cipta di MK
Jakarta, IDN Times - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Guntur Hamzah, membahas nasib pengamen, apakah harus membayar royalti kepada pencipta lagu yang dinyanyikan saat mengamen.
Hal tersebut disampaikan Guntur dalam sidang lanjutan perkara nomor 37/PUU-XXIII/2025 dan 28/PUU-XXIII/2025, terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2025).
Pertanyaan itu dilontarkan Guntur kepada Guru Besar Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran, Ahmad M Romli, sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah dalam sidang uji materi UU Hak Cipta.
"Warung-warung misalnya yang setiap saat ada pengamen di sana. Apakah pengamen juga (harus bayar royalti)? Ya kalau kita lihat dari sudut pandang yang memiliki nilai komersial, dikenakan pada kegiatan komersial, pengamen-pengamen bagaimana?" ucap Guntur.
"Pengamen pun masih banyak variasinya, ada pengamen yang di trotoar, yang memang pakai dasi dan sebagainya, ada di CFD segala. Tapi ada juga pengamen jalanan yang di pinggir-pinggir traffic light. Ini kan komersial kalau dari segi komersialnya dia mengutip, meminta, apakah itu juga bisa dikenakan?" sambungnya.
1. Perlu ada pembatasan terkait aturan royalti

Guntur berpandangan, terkait aturan royalti dalam UU Hak Cipta sebenarnya perlu ada pembatasan terkait siapa saja yang wajib membayar royalti, saat membawakan lagu karya orang lain. Sehingga, kata dia, apabila ada pihak yang masih serba kekurangan seperti pengamen, tidak perlu membayar royalti.
"Menurut saya ini perlu ada pembatasan-pembatasan batas bawah yang memang harus diatur, sehingga hal yang sifatnya untuk mencari hidup saja, itu tidak diperlukan," tutur dia.
2. Ahli berpendapat harus ada aturan detail

Menanggapi pertanyaan itu, Romli menegaskan, ke depan memang diperlukan aturan yang detail. Misalnya, soal klasifikasi siapa saja yang wajib dan tidak untuk membayar royalti. Menurutnya, pengamen dan warung yang memainkan lagu milik orang lain tidak perlu membayar royalti.
"Kalau kemudian tadi ada pengamen, warung, dan seterusnya. Saya kira inilah yang harus dibuat dalam satu aturan detail. Pengamen kan, masa pengamen harus disuruh bayar royalti, gak benerlah. Warung juga misalnya seperti apa harusnya free juga," tutur dia.
Oleh sebab itu, kata Romli, peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang mengurus royalti lagu, harus lebih diperjelas lagi. Jangan sampai keberadaannya justru membuat masyarakat serba khawatir dan ketakutan.
"Jadi saya melihat bahwa LMKN ini tidak diciptakan untuk menakut-nakuti orang, sehingga orang lari untuk menggunakan lagu, bahaya betul itu. Jadi kita harus menata betul LMK itu mitra yang baik untuk pemberi kepastian hukum untuk para pengguna, dan juga memberikan kepastian hukum dan hak ekonomi yang akuntabel untuk pencipta dan pihak terkait," tuturnya.
3. Dua permohonan uji materiil terkait UU Hak Cipta

Sebagaimana diketahui, saat ini ada dua permohonan uji materiil UU Hak Cipta yang sedang berproses di MK. Para pemohon Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 terdiri dari Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, Nazriel Irham atau akrab disapa Ariel, bersama 27 musisi lainnya sebagai pelaku pertunjukan yang telah berkarya di industri musik Indonesia berpotensi mengalami masalah hukum dari pasal-pasal yang diuji tersebut.
Pengujian ini berangkat dari beberapa kasus, misalnya yang dialami Agnes Monica atau lebih dikenal Agnez Mo. Agnez Mo digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu “Bilang Saja”, karena Agnez Mo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias.
Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutus gugatan tersebut dengan menghukum Agnez Mo mengganti rugi Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias, dan Agnez Mo pun dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan tuduhan pelanggaran Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
Sementara, Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima pelaku pertunjukan yang tergabung dalam grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band serta Saartje Sylvia, pelaku pertunjukan ciptaan yang dijuluki sebagai Lady Rocker pertama.
T’Koes Band kerap menampilkan lagu-lagu lawas yang dulu dinyanyikan orang lain seperti Koes Plus, D’Mercys, hingga Everly Brothers dan The Beatles. Akan tetapi kemudian T’Koes Band dilarang mempertunjukan lagu-lagu dari Koes Plus per 22 September 2023 melalui para ahli waris dari Koes Plus.
Menurutnya, hal tersebut membuktikan penerapan Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta yang berbunyi “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta” telah merugikan pemohon dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin.
Padahal, kata pemohon, setiap pertunjukan T’Koes Band telah meminta license dan atau membayar royalti kepada LMK di Indonesia, dan melakukan pendekatan dengan menyerahkan sejumlah nominal uang tertentu kepada sebagian ahli waris Koes Plus walau pun mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan.