AS-Israel Tarik Tim Negosiasi Damai, Sebut Hamas Tak Serius

- Para mediator mengajukan gencatan senjata 60 hari di Gaza.
- Hamas meminta Israel membebaskan 200 warga Palestina dan 2 ribu tahanan lainnya.
- Israel menyatakan penarikan delegasi dari Doha tidak berarti negosiasi runtuh.
Jakarta, IDN Times – Amerika Serikat (AS) dan Israel menarik kembali delegasi mereka dari Doha, Qatar, pada Kamis (24/7/2025), usai menerima tanggapan terbaru dari Hamas. Respons tersebut menanggapi proposal gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang dirancang oleh mediator dari Qatar, Mesir, dan AS.
Utusan Khusus AS, Steve Witkoff, menilai respons Hamas sebagai sinyal bahwa kelompok itu tidak serius ingin menyepakati perdamaian.
“(Usulan Hamas) jelas menunjukkan kurangnya keinginan untuk mencapai gencatan senjata,” kata Witkoff, dikutip dari CNN.
Tanggapan dari Hamas telah diserahkan kepada para mediator pada hari yang sama, namun isi dokumen itu belum dibuka ke publik. Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membenarkan bahwa dokumen telah diterima dan masih dalam proses kajian.
1. Hamas ajukan tuntutan baru di tengah usulan gencatan senjata 60 hari
Dalam proposal terbaru, para mediator mengusulkan masa jeda konflik selama 60 hari sebagai tahap awal untuk meredakan situasi di Gaza. Hamas disebut siap membebaskan 10 sandera yang masih hidup dan menyerahkan jenazah 18 lainnya. Sebagai gantinya, Israel diminta membebaskan sejumlah tahanan Palestina dan membuka lebih banyak akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Namun, Hamas mengajukan tuntutan baru yang jauh lebih besar dari tawaran sebelumnya. Kelompok itu meminta Israel membebaskan 200 warga Palestina yang divonis penjara seumur hidup karena membunuh warga Israel, serta 2 ribu tahanan yang ditangkap sejak 7 Oktober 2023. Padahal, tawaran terakhir yang sempat diterima Israel hanya mencakup 125 napi seumur hidup dan 1.200 tahanan lainnya.
Witkoff mengecam keras langkah Hamas yang dinilainya tidak mendukung misi perdamaian para mediator.
“Meskipun para mediator telah melakukan upaya besar, Hamas tampaknya tidak terkoordinasi atau bertindak dengan itikad baik,” katanya, dikutip dari Al Jazeera.
Ia juga menyebut sikap Hamas sebagai tindakan egois dan mengatakan AS sedang mempertimbangkan opsi alternatif untuk menyelamatkan para sandera serta menciptakan stabilitas di Gaza, meski belum dijelaskan apa bentuk opsi tersebut.
2. Pejabat Israel dan AS beri penilaian beragam soal prospek damai

Seorang pejabat pemerintah Israel menyampaikan bahwa penarikan delegasi dari Doha tidak berarti negosiasi telah runtuh. Ia menjelaskan kepada penyiar publik Israel, KAN, bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari proses koordinasi antara semua pihak yang terlibat. Ia juga menambahkan bahwa sejumlah keputusan penting masih dipertimbangkan dan momentum negosiasi dinilai tetap berada dalam kondisi positif.
Dilansir dari Anadolu Agency, sumber yang mengetahui isi negosiasi justru melihat respons Hamas secara keseluruhan sebagai sinyal positif. Sumber itu mengakui masih ada celah perbedaan, tetapi menilai jarak perbedaan semakin menyempit dan kesepakatan bisa saja tercapai. Laporan berbeda datang dari Israel Hayom yang mengutip sumber lain, menyebut Hamas justru memperburuk peluang tercapainya kesepakatan.
Perbedaan pandangan dari berbagai pihak ini menyoroti betapa rumitnya proses diplomasi yang terjadi di balik layar. Sebagian pihak masih melihat peluang untuk kesepakatan damai, sementara yang lain menilai kondisi justru makin memburuk. Hingga kini, belum ada informasi jelas kapan atau di mana perundingan akan dilanjutkan.
3. Situasi kemanusiaan Gaza memburuk dan Israel hadapi tekanan global
Serangan balasan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar dan menghancurkan infrastruktur sipil. Sebanyak 1.139 orang tewas dalam serangan Hamas di Israel, sementara serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 59.587 warga Palestina. Korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa 115 warga Gaza meninggal karena malnutrisi, sebagian besar dalam beberapa minggu terakhir. Lebih dari 100 organisasi kemanusiaan menyalahkan pembatasan Israel terhadap pengiriman bantuan sebagai penyebab utama krisis ini. CNN menyebut lebih dari 1.000 orang tewas saat mencoba mendapatkan bantuan dari Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah lembaga distribusi bantuan yang didukung AS.
Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, disebut belum menunjuk pejabat khusus untuk menangani distribusi bantuan ke wilayah Gaza. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tommy Pigott, mengakui bahwa krisis kemanusiaan yang terjadi sangat serius.
“Kami ingin melihat akhir dari kehancuran yang terjadi di Gaza, itulah mengapa kami telah melihat komitmen untuk mendapatkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkannya dengan cara yang tidak dipersenjatai oleh Hamas,” katanya.
Sementara itu, Israel diperkirakan masih menahan lebih dari 10.800 warga Palestina di penjara. Media lokal, baik Palestina maupun Israel, melaporkan bahwa banyak dari mereka mengalami penyiksaan, kelaparan, dan tidak mendapatkan perawatan medis. Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat penangkapan untuk Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang. Mahkamah Internasional (ICJ) juga masih menyidangkan gugatan genosida terhadap Israel.