Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dalam Sepekan, 40 Orang Meninggal akibat Wabah Kolera di Darfur Sudan

gambar peta Sudan (unsplash.com/Lara Jameson)
gambar peta Sudan (unsplash.com/Lara Jameson)
Intinya sih...
  • Kolera menyerang tempat-tempat yang kekurangan air bersih.
  • Fasilitas medis juga terbatas.
  • MSF serukan bantuan segera dari komunitas internasional.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Dokter Lintas Batas (MSF) melaporkan bahwa sedikitnya 40 orang telah meninggal akibat wabah kolera di wilayah Darfur, Sudan, dalam sepekan terakhir. Darfur tercatat sebagai wilayah yang paling terdampak parah sejak wabah tersebut merebak setahun lalu.

“Selain perang yang berkecamuk, masyarakat di Sudan kini menghadapi wabah kolera terburuk yang pernah terjadi di negara ini selama bertahun-tahun. Di wilayah Darfur saja, tim MSF merawat lebih dari 2.300 pasien dan mencatat 40 kematian dalam sepekan terakhir," kata organisasi bantuan medis tersebut pada Kamis (14/8/2025).

1. Kolera menyerang tempat-tempat yang kekurangan air bersih

Secara nasional, otoritas kesehatan melaporkan 99.700 kasus dugaan kolera dan 2.470 kematian terkait penyakit tersebut sejak Agustus 2023. Menurut lembaga bantuan, infeksi bakteri yang ditularkan melalui makanan dan air yang terkontaminasi ini menyebar cepat akibat perang, pengungsian massal dan curah hujan yang tinggi.

MSF mengungkapkan bahwa jutaan pengungsi di Sudan kini kesulitan mendapatkan air bersih untuk minum, memasak, dan menjaga kebersihan. Di Tawila, Darfur Utara, di mana sekitar 380 ribu orang melarikan diri dari pertempuran yang berlangsung di sekitar kota el-Fasher, warga bertahan hidup hanya dengan 3 liter air per hari, kurang dari setengah batas minimum darurat sebesar 7,5 liter per orang.

“Di kamp-kamp pengungsian, keluarga sering kali tidak punya pilihan selain meminum air dari sumber yang terkontaminasi, dan banyak yang terjangkit kolera,” kata Sylvain Penicaud, koordinator proyek MSF di Tawila.

“Dua minggu lalu, satu jenazah ditemukan di sumur dalam salah satu kamp. Jenazah itu memang diangkat, tetapi dalam dua hari, warga terpaksa kembali meminum air dari sumur yang sama," tambahnya.

2. Fasilitas medis juga terbatas

Selain krisis air bersih, MSF juga menyoroti keterbatasan fasilitas perawatan. Pusat pengobatan kolera di Rumah Sakit Tawila, misalnya, hanya memiliki sekitar 130 tempat tidur. Pada pekan pertama Agustus, rumah sakit tersebut harus menampung 400 pasien, sehingga memaksa petugas merawat sebagian pasien di atas kasur yang diletakkan di lantai.

Dilansir dari DW, Gubernur Darfur, Mini Arko Minawi, menyalahkan milisi Rapid Support Forces (RSF) karena gagal menangani warga terdampak wabah kolera.

“Mereka yang menderita kolera berada di luar wilayah layanan pemerintah, dan sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah yang dikuasai oleh apa yang disebut 'Rapid Support Forces’ yang telah mengambil alih wilayah tersebut tetapi tidak mampu memberikan layanan di sana. Pasukan ini dan para komandannya tidak memiliki pengetahuan tentang cara memberikan layanan maupun memerintah,' kata Minawi.

Pertempuran antara RSF dan militer Sudan telah berlangsung sejak April 2023, menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Konflik ini telah menewaskan lebih dari 40 ribu orang, memaksa sekitar 12 juta lainnya mengungsi, dan membuat jutaan orang menghadapi kelaparan.

3. MSF serukan bantuan segera dari komunitas internasional

Kepala misi MSF di Sudan, Tuna Turkmen, menyebut situasi saat ini sangat mendesak, di mana mana kolera telah menyebar ke kamp-kamp pengungsian hingga ke berbagai wilayah di negara bagian Darfur dan daerah lainnya.

Di negara tetangga Chad, sedikitnya 16 kematian dan 288 kasus kolera dilaporkan pada pekan kedua Agustus.

Turkmen pun mendesak komunitas internasional untuk menyediakan layanan kesehatan, meningkatkan fasilitas air dan sanitasi, serta memulai program vaksinasi kolera di wilayah yang terdampak.

“Orang-orang yang selamat dari perang tidak boleh dibiarkan mati karena penyakit yang dapat dicegah," tambahnya, dikutip dari The Guardian.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us