Haiti Gelap Total Usai Warga Duduki PLTA untuk Protes Kekuasaan Geng

- Ratusan warga Mirebalais menduduki PLTA Péligre sebagai protes terhadap dominasi geng Viv Ansanm.
- Pemadaman listrik mengganggu rumah sakit dan ekonomi, dengan banyak fasilitas medis yang lumpuh.
- Pemerintah Haiti minim respons terhadap krisis, sementara misi internasional mandek dalam menekan aktivitas geng.
Jakarta, IDN Times - Ibu kota Haiti mengalami pemadaman listrik total pada Rabu(18/5/2025), setelah warga Mirebalais menduduki pembangkit listrik tenaga air Péligre. Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap kegagalan pemerintah mengendalikan kekerasan geng yang terus meluas.
Pembangkit Péligre, sumber utama listrik Port-au-Prince, berhenti beroperasi akibat aksi warga yang menuntut perlindungan dari geng Viv Ansanm. Pemadaman ini memperburuk krisis kemanusiaan, di mana lebih dari 85 persen wilayah ibu kota kini dikuasai kelompok bersenjata.
1. Aksi protes warga di tengah kegagalan negara
Ratusan warga Mirebalais, kota yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Port-au-Prince, menduduki pembangkit Péligre sebagai bentuk protes atas dominasi geng Viv Ansanm yang menguasai kota sejak akhir Maret 2024.
“Kami mematikan pembangkit karena pemerintah telah menyerahkan kota ini kepada penjahat,” ujar Robenson Mazarin, pengacara dan aktivis sipil, dikutip dari AFP.
Geng Viv Ansanm, yang telah diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat (AS), bertanggung jawab atas pembobolan penjara Mirebalais dan pembebasan 515 tahanan. Mereka juga menyebabkan penutupan Rumah Sakit Universitas Mirebalais pada April 2025. Menurut PBB, 1,3 juta warga Haiti terpaksa mengungsi dalam enam bulan terakhir.
Perusahaan listrik negara, Electricité d’Haïti (EDH), menyebut aksi ini sebagai sabotase keji yang melumpuhkan pasokan listrik.
“Péligre saat ini tidak menghasilkan listrik sama sekali,” terang EDH, tanpa memberikan estimasi pemulihan.
Menurut Le Monde, insiden ini mencerminkan rapuhnya sistem energi Haiti.
2. Rumah sakit lumpuh, ekonomi tersendat
Pemadaman listrik mengganggu operasional rumah sakit di ibu kota. Banyak fasilitas medis kini bergantung pada generator dengan bahan bakar terbatas. Pasien yang membutuhkan ventilator dan dialisis berada dalam kondisi kritis.
“Kami hanya bisa menyalakan alat vital beberapa jam sehari,” ungkap Emmanuel Louis, dokter di Port-au-Prince, dikutip dari The Haitian Times.
Sektor ekonomi juga terpukul. Listrik di Haiti tiga kali lebih mahal dari rata-rata negara Karibia, membuat generator tak terjangkau bagi banyak warga
“Semua ikan dan daging saya busuk. Bagaimana saya bisa bertahan?” keluh Marie Josette, pedagang pasar lokal, dilansir The Rio Times.
Pembangkit Péligre, dibangun AS pada 1950-an, kini hanya mampu menghasilkan 36 dari kapasitas 54 megawatt.
“Kerusakan akibat pendudukan warga bisa memperpanjang pemadaman,” ujar Pierre Michel Félix, ketua serikat pekerja di Péligre, dilansir The Haitian Times.
3. Minim respons, misi internasional mandek
Pemerintah transisi Haiti, dipimpin Perdana Menteri Alix Didier Fils-Aime, belum mengeluarkan pernyataan resmi. Misi keamanan PBB yang dipimpin Kenya sejak 2024 juga belum efektif menekan aktivitas geng.
“Misi ini kekurangan dana dan personel,” kata analis Jacques Benoit, dikutip Devdiscourse.
PBB mengusulkan perubahan misi menjadi operasi penjaga perdamaian. AS dan Kanada telah menjatuhkan sanksi terhadap tokoh geng dan politisi pendukung mereka, namun dampaknya di lapangan minim.
“Warga merasa pemerintah dan dunia internasional telah meninggalkan mereka,” ujar jurnalis lokal Claude Pierre, dilansir NY Carib News.
Banyak warga percaya geng kini menjadi kekuatan politik de facto.
PBB memperingatkan Haiti berada di titik tanpa harapan dan berisiko mengalami kekacauan total tanpa intervensi segera. Dengan 5,5 juta warga membutuhkan bantuan kemanusiaan dan separuh populasi menghadapi kelaparan akut, Haiti menghadapi krisis multidimensi.
Dilansir The Conversation, kombinasi kerusakan lingkungan, kehancuran infrastruktur, dan dominasi geng membuat pemulihan semakin sulit.