PBB: Kelaparan Global Turun, tapi Krisis di Afrika Makin Parah

- Kemajuan di Asia dan Amerika Latin mendorong penurunan kelaparan global.
- Angka kelaparan meningkat di Afrika akibat konflik, guncangan iklim, dan inflasi tinggi.
- Inflasi harga pangan global mengancam keamanan pangan dengan dampak terbesar pada negara berpenghasilan rendah.
Jakarta, IDN Times - Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap tingkat kelaparan global menurun untuk tahun ketiga berturut-turut pada 2024. Diperkirakan 673 juta orang, atau setara 8,2 persen dari populasi dunia, mengalami kelaparan di 2024, turun dari 8,5 persen pada 2023.
Meski demikian, angka tersebut masih berada di atas level sebelum pandemi yang tercatat sebesar 7,5 persen pada 2019. Laporan ini juga tidak sepenuhnya mencerminkan dampak krisis pangan akut yang dipicu oleh konflik spesifik, termasuk perang di Gaza, dilansir Al Jazeera pada Selasa (29/7/2025).
1. Kemajuan di Asia dan Amerika Latin jadi pendorong utama
Penurunan angka kelaparan global didorong oleh kemajuan yang terjadi di Asia Selatan dan Amerika Latin. Kedua wilayah ini menunjukkan perbaikan dalam beberapa tahun terakhir.
Di Amerika Selatan, tingkat kelaparan turun dari 4,2 persen pada 2023 menjadi 3,8 persen pada 2024. Kemajuan ini ditopang oleh peningkatan produktivitas pertanian serta implementasi program-program sosial yang efektif.
Sementara itu, Asia Selatan mencatatkan penurunan kekurangan gizi dari 12,2 persen menjadi 11 persen pada periode yang sama. Perbaikan ini sebagian besar disebabkan oleh adanya data baru dari India yang menunjukkan akses lebih baik terhadap makanan sehat bagi warganya, dilansir Strait Times.
Direktur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO), QU Dongyu, menyebut meski ada kabar baik, tantangan besar masih ada di depan mata.
"Meskipun menggembirakan melihat penurunan angka kelaparan global, kita harus menyadari bahwa kemajuan tidak merata. Laporan SOFI 2025 berfungsi sebagai pengingat penting bahwa kita perlu mengintensifkan upaya untuk memastikan semua orang memiliki akses ke makanan yang cukup, aman, dan bergizi," ujarnya, dilansir dari situs UNICEF pada Senin (28/7/2025).
2. Angka kelaparan justru meningkat di Afrika
Gambaran yang sangat kontras terlihat di benua Afrika, di mana tren kelaparan justru terus meningkat. Kondisi serupa juga terjadi di sejumlah negara di kawasan Asia Barat.
Pada 2024, lebih dari seperlima populasi Afrika, atau sekitar 307 juta orang, menderita kekurangan gizi kronis. Angka tersebut menunjukkan bahwa masalah kelaparan di benua itu kini lebih parah dibandingkan dua dekade lalu.
Kombinasi dari konflik berkepanjangan, guncangan iklim ekstrem, dan inflasi tinggi menjadi pendorong utama krisis ini. Pertumbuhan produktivitas pertanian di Afrika juga tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan populasi yang tinggi.
Proyeksi PBB bahkan memperkirakan pada 2030, hampir 60 persen dari total penderita kelaparan kronis di dunia akan berada di Afrika. Presiden badan Dana Internasional untuk Pengembangan Pertanian PBB (IFAD), Alvaro Lario, menekankan pentingnya investasi di sektor pertanian.
"Di saat harga pangan naik dan rantai pasok global terganggu, kita harus meningkatkan investasi kita dalam transformasi pedesaan dan pertanian. Investasi ini tidak hanya penting untuk memastikan ketahanan pangan dan gizi, tetapi juga krusial untuk stabilitas global," katanya, dikutip dari UNICEF.
3. Inflasi pangan dan ancaman pemotongan dana bantuan
Salah satu tantangan terbesar yang menghambat pemulihan keamanan pangan adalah inflasi harga pangan global. Fenomena ini secara konsisten melampaui tingkat inflasi umum sejak 2020.
Negara-negara berpenghasilan rendahlah yang paling terpukul oleh kenaikan harga pangan yang tajam. Akibatnya, jumlah orang yang tidak mampu membeli makanan sehat di negara-negara tersebut justru meningkat menjadi 545 juta pada 2024.
Situasi ini ironis karena di saat yang sama, jumlah global orang yang tidak mampu membeli makanan sehat sebenarnya menunjukkan sedikit penurunan. Temuan ini mengungkap adanya ketidaksetaraan antara negara maju dan negara miskin.
Kondisi tersebut diperparah oleh ancaman krisis pendanaan bagi lembaga-lembaga kemanusiaan.
"Kelaparan tetap berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, namun dana yang dibutuhkan untuk menanganinya menurun. Tahun ini, pemotongan dana hingga 40 persen berarti puluhan juta orang akan kehilangan jalur penyelamat vital yang kami sediakan," tutur Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain, dilansir UN News.