Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ribuan Aktivis Desak Negara Kaya Batalkan Utang Negara Miskin demi Iklim

Aksi demonstrasi (freepik.com/storyset)

Jakarta, IDN Times - Ribuan aktivis turun ke jalan di Sevilla, Spanyol selatan, pada Minggu (29/6/2025), menjelang Konferensi Internasional Keempat tentang Pembiayaan untuk Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mereka menuntut pembatalan utang, keadilan iklim, dan pajak bagi orang super kaya untuk mengatasi krisis global.

Konferensi yang digelar setiap dekade ini berlangsung dari 30 Juni hingga 3 Juli 2025 dan bertujuan menyusun kerangka pembiayaan global guna mengatasi kemiskinan, penyakit, dan perubahan iklim. Namun, keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mundur dan melemahnya komitmen negara-negara kaya terhadap bantuan luar negeri menurunkan harapan akan hasil yang signifikan.

1. Tuntutan keadilan ekonomi dan iklim

Aksi damai yang dipimpin Greenpeace dan Glasgow Actions Team ini diikuti aktivis lingkungan, masyarakat sipil, serta perwakilan negara berkembang. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Make Human Rights Great Again”, “Tax Justice Now”, dan “Make Polluters Pay”, menuntut reformasi sistem keuangan global yang dianggap merugikan negara-negara Global South.

Salah satu tuntutan utama adalah penghapusan utang negara miskin yang menghambat investasi untuk perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Laporan menyebutkan, banyak negara Global South menghabiskan lima kali lipat dana lebih banyak untuk membayar utang dibandingkan mengatasi krisis iklim.

“Utang ini mencekik kemampuan kami membangun ketahanan terhadap perubahan iklim,” kata Beauty Narteh dari Ghana’s Anti-Corruption Coalition.

Greenpeace menarik perhatian dengan membawa replika pelampung bayi Elon Musk memegang gergaji mesin di atas bola dunia, menyindir peran miliarder dan pencemar besar dalam memperburuk krisis iklim. Aksi ini menegaskan tuntutan agar industri bahan bakar fosil bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.

2. Kekecewaan terhadap komitmen global

Konferensi yang juga dikenal sebagai Compromiso de Sevilla, ditargetkan menghasilkan komitmen konkret menutup kesenjangan pembiayaan senilai 4 triliun dolar AS (Rp64,8 kuadriliun) per tahun bagi negara berkembang. Namun, naskah akhir konferensi menuai kritik karena dinilai tidak ambisius, apalagi setelah AS memutuskan tidak ikut serta.

“Kami kecewa karena negara-negara kaya, termasuk AS, tidak menunjukkan solidaritas sejati,” ujar Sokhna Ndiaye dari Africa Development Interchange Network, dikutip dari Free Malaysia Today.

Para aktivis juga mendorong Konvensi Pajak PBB untuk membentuk sistem pajak global yang adil agar orang super kaya dan perusahaan pencemar turut membiayai aksi iklim.

“Kami butuh sistem yang menempatkan manusia di atas keserakahan,” kata Eva Saldaña, Direktur Eksekutif Greenpeace Spanyol dan Portugal, dikutip dari Greenpeace International.

Keputusan AS untuk mundur dari konferensi dinilai melemahkan kerja sama global. Wakil Sekjen PBB, Amina Mohammed, menyebut langkah tersebut sangat disesalkan karena berdampak buruk pada kehidupan dan penghidupan masyarakat miskin.

Meski begitu, konferensi tetap mendorong reformasi, termasuk peningkatan rasio pajak terhadap PDB negara berkembang hingga minimal 15 persen.

3. Harapan dan tantangan ke depan

Meski penuh tantangan, para aktivis tetap optimistis bahwa tekanan publik dapat mendorong perubahan di KTT Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, pada November 2025.

“Sevilla adalah langkah awal menuju kerja sama global yang dipimpin oleh mereka yang paling terdampak,” ujar Andrew Nazdin dari Glasgow Actions Team, dikutip dari Scoop News.

Namun, penurunan bantuan pembangunan resmi (ODA) dari negara kaya, yang diproyeksikan turun 9-17 persen tahun ini menurut OECD, menjadi hambatan besar. Inggris, Prancis, dan Jerman juga memangkas bantuannya, memperparah krisis di negara termiskin.

“Kami butuh komitmen nyata, bukan janji kosong,” ujar Fred Njehu dari Greenpeace Africa.

Konferensi ini diharapkan memperkuat Agenda Aksi Addis Ababa dan mendorong mekanisme penyelesaian utang yang adil di bawah PBB. Para aktivis menegaskan pentingnya reformasi sistemik untuk mencegah krisis utang dan iklim yang memperparah ketimpangan global.

“Kami menuntut keadilan, bukan amal,” ujar Narteh, dikutip dari TradingView.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us