Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Childfree Lebih Dikenal dalam Lingkaran Sosial Tertentu?

ilustrasi childfree (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Pendidikan tinggi menciptakan ruang refleksi atas peran individu sebagai orang tua
  • Norma sosial menekankan peran anak sebagai identitas keluarga di kalangan tertentu
  • Akses terhadap wacana global membentuk perspektif ekologis dan etis tentang reproduksi

Keputusan untuk tidak memiliki anak atau childfree bukan sekadar urusan personal yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari dinamika sosial yang dipengaruhi oleh banyak hal. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak tokoh publik yang menyuarakan pilihan childfree secara terbuka. Reaksi masyarakat pun beragam, dari dukungan penuh hingga sentimen miring yang mempertanyakan akal sehat sampai masa depan.

Fenomena ini membuka sebuah diskursus baru untuk mengkaji ulang mengenai mengapa wacana childfree seolah lebih nyaring terdengar di lingkaran sosial tertentu dibandingkan yang lain? Tapi benarkah wacana ini hanya bisa dikenali di kalangan mapan dan terdidik? Apakah sebenarnya ada banyak individu dari berbagai latar belakang lain yang mengenali prinsip childfree, hanya saja tak selalu memakai istilah yang sama? Mari kita kupas bersama mengenai fenomena childfree lebih dikenal dalam lingkaran sosial tertentu.

1. Pendidikan tinggi menciptakan ruang refleksi atas peran individu sebagai orangtua

ilustrasi lulusan perguruan tinggi (pexels.com/Emily Ranquist)

Menurut jurnal yang diterbitkan oleh BPS edisi 2023 yang bertajuk Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia terungkap fakta bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi (SMA sederajat dan jenjang selanjutnya) memilih untuk melakukan childfree. Bagi individu dari latar ini, menjadi orangtua bukan hanya perkara biologis atau peran di lingkungan sosial, tapi juga soal kesiapan emosional, finansial, dan moral. Mereka terbiasa mempertanyakan ulang nilai-nilai tradisional termasuk tentang makna memiliki keluarga ideal.

Dalam lingkaran ini, tidak memiliki anak bisa dipahami sebagai keputusan penuh tanggung jawab, bukan bentuk penolakan terhadap kasih sayang atau rezeki dari Tuhan. Mereka sudah mulai tumbuh kesadaran bahwa membesarkan anak memerlukan kapasitas yang utuh dan bila hal itu tidak bisa dipenuhi, maka memilih childfree menjadi tindakan yang logis. Gagasan ini lahir bukan dari pengaruh ideologi luar semata, tapi dari proses refleksi atas kehidupan yang ingin dijalani.

2. Norma sosial menekankan peran anak sebagai identitas keluarga di kalangan tertentu

ilustrasi rentan ekonomi (pexels.com/hitesh choudhary)

Sementara itu, di banyak komunitas dengan kondisi ekonomi terbatas, anak masih dilihat sebagai simbol kedewasaan dan kehormatan sosial.  Hal ini juga di dukung oleh temuan pada Jurnal Kesehatan, Sains, dan Teknologi (JAKASAKTI) tahun 2024 yang menyatakan masih banyak kalangan ekonomi menengah ke bawah yang mengimani pernyataan banyak anak banyak rezeki nyata adanya. Selain itu, dalam lingkungan yang sangat kolektif, keputusan punya anak bukan hanya milik pasangan, tapi juga menjadi urusan orangtua, tetangga, bahkan sampai tokoh masyarakat. Penundaan punya anak bahkan bisa dianggap sebagai tanda ketidakwajaran atau penyimpangan dari nilai-nilai yang dianut selama ini.

Meski ada sebagian individu dari kelas ekonomi ini yang mengenal konsep childfree, mereka cenderung kesulitan mengekspresikannya secara terbuka karena tekanan sosial sangat kuat. Terlebih kala mereka hidup dalam keterbatasan dan lingkup masyarakat yang menjunjung tinggi adanya patriarki. Konsep seperti ini menjadi sulit dipraktikkan bukan karena ketidaktahuan mereka semata, tetapi karena tidak ada ruang aman untuk mempertanyakan norma yang sudah mendarah daging dalam masyarakat.

3. Akses terhadap wacana global membentuk perspektif ekologis dan etis tentang reproduksi

ilustrasi overpopulasi (pexels.com/LT Chan)

Di kelompok yang sering terpapar isu-isu global seperti perubahan iklim, krisis pangan, atau dampak sosial dari overpopulasi pilihan childfree juga diposisikan sebagai bentuk kontribusi terhadap keberlanjutan Bumi. Selaras dengan hal itu, penjelasan tentang overpopulasi ini juga didukung dengan data Worldometer yang menyatakan bahwa pada tahun 2025 sudah terdapat 8,2 miliar manusia yang menjadi penduduk dunia.  Begitu pula pertumbuhan penduduk di Indonesia, juga terjadi lonjakan yang cukup drastis. Pada 1971 saja jumlah penduduk Indonesia hanya sebanyak 119,2 juta, kemudian 1990 sebanyak 179,3 juta, dan terakhir tercatat ada lonjakan pada tahun 2025 yang mana naik menjadi 285 juta. 

Bagi sebagian orang, tidak memiliki anak menjadi bentuk tanggung jawab ekologis mereka terhadap Bumi. Mereka merasa keputusan ini lebih dari sekadar pilihan pribadi, tapi juga berkaitan dengan nilai keberlanjutan dan etika generasi. Sudut pandang semacam ini jelas tidak banyak diakses oleh masyarakat yang sehari-harinya harus fokus bertahan hidup. Bukan karena mereka tidak peduli, melainkan karena tidak punya kemewahan untuk memikirkan hal-hal yang jauh dari kebutuhan dasar mereka sehari-hari.

4. Ketimpangan informasi menyebabkan kesenjangan dalam mengenali pilihan hidup

ilustrasi anak-anak (pexels.com/Mehmet Turgut Kirkgoz)

Ketimpangan informasi berperan besar dalam membentuk pemahaman tentang pilihan hidup, termasuk keputusan untuk menjalani hidup tanpa anak atau childfree. Akses terhadap pengetahuan soal kesehatan reproduksi, tekanan mental pascamelahirkan, serta beban ekonomi menjadi faktor penting dalam membuka kesadaran seseorang atas pilihan ini. Sebaliknya, mereka dari kalangan bawah cenderung mengikuti pola hidup turun-temurun tanpa kesempatan mempertanyakan atau mengevaluasi pilihan tersebut.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketimpangan bukan hanya terjadi karena perbedaan ekonomi, tapi juga karena keterbatasan akses terhadap informasi dan ruang berpikir. Penelitian berjudul Childfree Phenomenon in Indonesia menemukan bahwa banyak pasangan yang mendapatkan tekanan sosial untuk memiliki anak, namun ketika pilihan childfree dipilih malah memunculkan keterkejutan atau penolakan, karena dianggap menyimpang dari norma. Bukan berarti mereka menolak opsi seperti childfree, melainkan tidak pernah punya ruang untuk berpikir dan memilih. Di sinilah ketimpangan tidak lagi hanya soal uang, tapi soal hak untuk tahu dan memilih.

5. Persepsi tentang rezeki dan anak membentuk cara pandang jangka panjang

ilustrasi anak-anak (pexels.com/Mehmet Turgut Kirkgoz)

Di komunitas yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, anak sering kali dipandang sebagai bentuk investasi masa depan. Keyakinan bahwa “anak membawa rezeki” bukan sekadar mitos, tapi strategi mereka untuk bertahan dan sudah berlangsung turun temurun. Dalam realitas yang minim jaminan sosial, anak dianggap bisa menjadi penopang di masa tua, bukan beban yang harus dipikirkan.

Berbeda halnya dengan mereka yang memiliki support system kuat, seperti asuransi, tabungan pensiun, hingga akses ke fasilitas lansia. Dalam level ekonomi semacam itu, seseorang tidak lagi perlu menggantungkan masa depannya pada keturunan yang mereka miliki. Maka, keputusan untuk tidak punya anak tidak lagi berarti membahayakan hari tua, melainkan menjadi bagian dari perencanaan hidup jangka panjang. Perbedaan ini tidak muncul dari perbedaan nilai hidup, tapi dari sistem pendukung yang tersedia.

Pilihan childfree lebih dikenal dalam lingkaran sosial tertentu, bukan karena hanya mereka yang tertarik, tapi mereka punya ruang untuk mendiskusikan dan mempertimbangkannya secara terbuka. Akses terhadap pendidikan, informasi kesehatan, serta kebebasan dari tekanan sosial membuat kelompok ini lebih akrab dengan konsep tersebut bukan berarti yang lain tidak pernah memikirkannya, hanya saja belum punya kesempatan yang sama untuk mengenal dan mempertimbangkannya secara sadar. Jika setiap orang dari latar sosial mana pun punya hak dan ruang yang sama untuk berpikir kritis, maka pilihan hidup, termasuk soal punya anak atau tidak, bisa benar-benar jadi milik semua orang, bukan hanya segelintir kalangan.

Referensi:

“The Childfree Phenomenon in the Perspective of Generation Z”Jurnal Kesehatan, Sains, dan Teknologi (JAKASAKTI). Diakses pada Juni 2025.

“Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia. DataIn BPS. Diakses pada Juni 2025.

“Childfree Phenomenon in Indonesia” Muliya Rizka, Siti dkk. Diakses pada Juni 2025.

“World Population 2025” Worldometers. Diakses pada Juni 2025.

“World Population Indonesia 2025. Diakses pada Juni 2025.

“Overpopulation: Cause and Effect” Population Media Center. Diakses pada Juni 2025.

“Childless or Childfree as the Choice: Solution to Overpopulation or Part of Popular Culture?” Modern Diplomacy. Diakses pada Juni 2025.

Childfree: The Rise of Anti-Natalism in Indonesia". BINUS University. Diakses pada Juni 2025.

"Fenomena Childfree dalam Perspektif Sosiologi Keluarga". Jurnal Harkat: Jurnal Hukum dan Hak Asasi Manusia. Diakses pada Juni 2025.

"Fenomena Childfree Ditinjau dari Perspektif Psikologi Keluarga". Jurnal Soshum Indonesia. Diakses pada Juni 2025.

"Ask HN: Is Anyone Here Happily Childfree?". Hacker News. Diakses pada Juni 2025.

"The Childfree: A Neglected Population". The British Psychological Society. Diakses pada Juni 2025.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us