PSSI, Berkacalah dari Jepang Lewat Japan's Way

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menegaskan fokus utama federasi adalah tim nasional. Pernyataan itu kembali diulang saat menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Liga Indonesia Baru, Senin (7/7/2025).
"Memang di banyak negara, federasi itu fokus tim nasional. Liga itu memang sangat independen, seperti ada yang di Liga Inggris, Bundesliga, seperti itu. Ini masalah pola pikir, bukan berarti salah dan benar," kata Erick.
Pada dasarnya, ucapan Erick tak salah. Namun, keberlanjutan sepak bola Indonesia sudah seharusnya ditinjau lewat apa yang dilakukan Jepang melalui roadmap yang dimilikinya, Japan's Way. Lewat Japan's Way, Negeri Sakura itu menggambarkan bagaimana Timnas Jepang bisa bersaing dengan negara top dunia.
Japan's Way bisa menjadi cermin, mengingat PSSI kini berkolaborasi dengan Federasi Sepak Bola Jepang (JFA). Tokoh sepak bola mereka macam Yoshimi Ogawa, Satoru Mochizuki, dan Takeyuki Oya kini ikut membantu sepak bola tanah air. Ogawa jadi Wakil Komite Wasit PSSI, Mochizuki pelatih Timnas Putri, dan Oya baru ditunjuk menjadi General Manager Kompetisi dan Operasi.
1. Mau juara Piala Dunia? Mustahil jika federasi cuma fokus di Timnas!
Baru masuk ke pembukaan, tepatnya di halaman tiga, Japan's Way menjabarkan sistem yang pada akhirnya mengantarkan Jepang lolos ke putaran final Piala Dunia 1998 lewat kualifikasi. Buah itu lahir berkat integrasi antara pembinaan usia dini yang berjenjang untuk masuk ke kompetisi J.League.
Japan's Way memang tak secara detail mengungkapkan J.League lantaran penyelenggaraannya diserahkan ke operator. Namun, dalam kasus ini, JFA menjadi regulator, pengawas, dan memberikan asistensi dalam proses integrasi kompetisi dengan Timnas. Mereka menciptakan sebuah sistem, yang diadopsi dari sejumlah negara model seperti Inggris, Jerman, Spanyol, Belgia, Brasil, Argentina, dan lainnya, untuk bisa mengintegrasikan para pemain muda masuk ke level lebih tinggi.
Setelah sempat melakukan trial and error pada era 1980-an, Jepang pada akhirnya mencetuskan J.League sebagai format kompetisi yang paten pada 1992. Kompetisi kasta tertinggi Jepang itu pertama kali kick-off pada Mei 1993. Selama empat tahun, mereka mulai menjalankan kompetisi sambil membangun citranya dengan berbagai cara. Pada akhirnya mereka lolos ke Piala Dunia di 1988.
J.League berada di tatanan teratas sistem pembinaan sepak bola Jepang lewat Japan's Way, yang berbasis pembinaan usia dini, pendidikan pelatih, wasit, hingga sepak bola putri. Konsistensi mereka dalam menjalankan roadmap, memperkuat fondasi sepak bolanya. Bahkan, J.League tak sendirian dalam tatanan teratas sistem pembinaan sepak bola Jepang. Level profesional, sudah mengarah pada sepak bola di Eropa sebagai tujuan dari para pemain berbakatnya.
"Sebuah sistem untuk bisa bergabung dengan negara-negara top dunia. Kami akhirnya meraih tempat untuk pertama kalinya di Piala Dunia 1998 Prancis lewat kualifikasi zona Asia 1997. Ini adalah buah dari peluncuran J.League serta investasi dalam pengembangan pemain muda dan pendidikan pelati. Memenangkan Piala Dunia adalah hal yang mustahil jika kita hanya fokus memperkuat tim nasional," ujar eks pelatih Timnas Jepang, Takeshi Okada, dalam Japan-s Way.
2. Naturalisasi pun jadi langkah instan
Karena fokus ke Timnas, PSSI pun memilih jalur instan. Di era Erick, federasi menggeber naturalisasi pemain, yang sebelumnya juga dilakukan pada kepemimpinan Mochamad Iriawan, periode 2019-2023.
Di bawah kepemimpinan Erick, PSSI setidaknya telah menaturalisasi 19 pemain, baik level senior dan kelompok umur. Cara ini praktis mengikis kesempatan pemain lokal untuk mengenakan seragam tempur Timnas Indonesia. Itu karena pemain naturalisasi kini menjadi daftar teratas dalam Garuda Calling, meski minim menit bermain di klubnya.
Pemain naturalisasi juga mendominasi starting XI. Contohnya Shayne Pattynama, Rafael Struick, dan Nathan Tjoe-A-On yang tetap dipanggil dalam dua laga terakhir Timnas. Pattynama main 707 menit, Struick 387 menit, Nathan 127 menit.
Hasilnya memang terasa karena Tim Merah Putih berbicara banyak di Kualifikasi Piala Dunia 2026, dengan melaju ke putaran keempat. Namun, tidak untuk jangka panjang.
3. Federasi harus turun tangan urus kompetisi
Masih di poin serupa, Japan's Way halaman tiga, federasi harus turun tangan dalam mengurus kompetisi di berbagai level. Meski berkolaborasi dengan berbagai macam pemangku kepentingan, federasi tetap menjadi garda terdepan.
Berkaca dari Jepang, federasi memang tak boleh lempar tangan, khususnya dalam pembinaan usia muda dan kompetisi. Jika dibandingkan Premier League dan Bundesliga, seperti yang dipaparkan Erick, pada dasarnya Inggris serta Jerman memiliki roadmap yang sama pula. Federasi bertindak sebagai regulator, fungsi pengawasan, dan pengembangan, dengan mengintegrasikan pembinaan usia dini dengan kompetisi.
Memang, pada dasarnya, FIFA lewat statutanya tak membebankan secara khusus tugas kompetisi ke federasi. Mereka hanya menjabarkan tugas federasi sebagai regulator, pengawas, serta pengembangan sepak bola. Bentuknya dikembalikan kepada masing-masing federasi, termasuk PSSI. Dalam kasus Indonesia, kompetisi memang berjalan independen lewat operator PT Liga Indonesia Baru. Namun, sebenarnya fungsi pengembangan khususnya usia dini, ada di PSSI.
"Kita harus memberikan kepemimpinan yang berani untuk memperkuat sepak bola di semua level di Jepang demi meraih kesuksesan di abad ke-21," kata Okada.