Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Biker Jakarta Masih Ogah Beralih ke Transportasi Publik?

ilustrasi macet (pexels.com/Markus Winkler)
ilustrasi macet (pexels.com/Markus Winkler)
Intinya sih...
  • Praktis dan fleksibel untuk perjalanan pintasPengguna motor menganggapnya lebih cepat, murah, dan menghemat waktu 30-60 menit dibanding transportasi publik. Biaya parkir dan bensin juga lebih rendah.
  • Infrastruktur publik belum benar-benar menyeluruhIntegrasi antar moda masih jauh dari sempurna, jalur MRT/LRT tidak memiliki akses langsung ke daerah pemukiman atau tempat kerja.
  • Masih ada persepsi negatif tentang transportasi umumPersepsi negatif seperti antrian panjang, berdesak-desakan di dalam bus/KRL, pelecehan seksual, pencurian, hingga isu keselamatan membuat banyak warga tetap memilih sepeda motor.

Jakarta sudah punya TransJakarta, KRL Commuter Line, MRT, LRT, dan integrasi lewat Jak Lingko. Namun, data menunjukkan bahwa sekitar 72 persen pengguna perjalanan harian masih memakai kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Pada tahun 2019 misalnya, lebih dari dua pertiga atau sekitar 67 persen warga masih menggunakan motor sebagai moda utama perjalanan.

Lalu apa sih yang membuat motor tetap menjadi pilihan utama warga Jakarta? Yuk, kita kulik apa saya penyebabnya.

1. Praktis dan fleksibel untuk perjalanan pintas

ilustrasi pengendara motor di jalan ramai (pexels.com/zhang kaiyv)
ilustrasi pengendara motor di jalan ramai (pexels.com/zhang kaiyv)

Pengendara motor menilai moda ini sangat praktis, terutama untuk perjalanan singkat. Berdasarkan survei online dari komunitas Jabodetabek, banyak pengguna menyebut naik sepeda motor lebih cepat dan murah: perjalanan dengan motor bisa menghemat waktu 30–60 menit dibanding harus naik angkutan umum dengan beberapa kali transit. Selain itu, biaya parkir dan bensin untuk motor jauh lebih rendah, membuat total biaya harian lebih ekonomis dibanding menggunakan transportasi publik.

2. Infrastruktur publik belum benar-benar menyeluruh

Ilustrasi perempuan di halte Transjakarta (unsplash.com/Andri Aprianto)
Ilustrasi perempuan di halte Transjakarta (unsplash.com/Andri Aprianto)

Meskipun sarana seperti MRT, LRT, KRL dan TransJakarta sudah tersedia, studi menunjukkan bahwa integrasi antar moda masih jauh dari sempurna. Misalnya, tidak semua jalur MRT/LRT memiliki akses langsung ke daerah pemukiman atau tempat kerja. Selain itu juga banyak rute yang belum dilengkapi feeder atau akses jalan kaki yang aman dan nyaman ke halte. Hasilnya, masyarakat masih merasa kendaraan pribadi lebih andal, terutama jika harus membawa barang, bepergian dengar anak, atau saat jam sibuk.

3. Masih ada persepsi negatif tentang transportasi umum

ilustrasi halte Transjakarta (unsplash.com/Riffat Muntaz)
ilustrasi halte Transjakarta (unsplash.com/Riffat Muntaz)

Faktor lain yang membuat banyak warga Jakarta bertahan dengan sepeda motornya karena masih adanya persepsi negatif seputar transportasi publik, seperti artrean panjang di stasiun atau halte, berdesak-desakan di dalam bus atau KRL, hingga waktu tunggu yang masih cukup lama. Belum lagi kasus pelecehan seksual, pencurian, hingga isu keselamatan yang kerap terjadi di transportasi publik.

Jadi, meskipun berbagai moda transportasi publik sudah dibangun, banyak warga masih masih merasa sepeda motor lebih praktis, cepat, dan ekonomis untuk kebutuhan harian. Selain itu, harga motor kini juga semakin kompetitif dan desain serta fiturnya juga semakin menggiurkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us