Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Truk ODOL terajaring razia di ruas tol Ngawi - Kertosono/ IDN Times/ Riyanto
Truk ODOL terajaring razia di ruas tol Ngawi - Kertosono/ IDN Times/ Riyanto

Intinya sih...

  • Usulan pertama adalah menyusun rencana induk simpul dan lintasan angkutan barang terintegrasi.

  • Usulan kedua adalah roadmap atau peta jalan tata kelola distribusi barang oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

  • Usulan ketiga terkait dengan kebijakan nasional berbasis supply chain guna efisiensi sektor logistik dan melindungi pengemudi.

Jakarta, IDN Times - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengapresiasi pemerintah yang menargetkan implementasi ketiadaan truk kelebihan muatan alias Zero Over Dimension Over Load (ODOL) mulai 2026 nanti.

Namun, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan, solusi tambal sulam tidak akan cukup dan penertiban juga tidak akan cukup untuk implementasi Zero ODOL.

"Dibutuhkan perubahan terstruktur, dari sistem logistik yang berjalan tanpa kompas kebijakan terpadu menjadi sistem yang solid, terukur, dan berpihak pada manusia di balik setir," ujar Djoko, dikutip Senin (9/6/2025).

MTI lantas menyampaikan tiga usulan kebijakan strategis yang lintas sektor dan menyasar akar masalah dalam implementasi Zero ODOL oleh pemerintah nanti.

1. Penyusunan masterplan simpul dan lintasan angkutan barang terintegrasi

Dishub Tangsel kala melakukan sidak terhadap truk-truk besar yang melintas. IDN Times/Muhamad Iqbal

Usulan pertama adalah menyusun rencana induk simpul dan lintasan angkutan barang terintegrasi. Menurut Djoko, saat ini simpul-simpul logisti seperti terminal barang, pelabuhan darat, hingga stasiun kereta barang tumbuh tanpa perencanaan menyeluruh.

Pembangunan yang sporadis ini berisiko menciptakan aset mubazir dan membuat truk mendominasi distribusi barang nasional, bahkan di wilayah yang seharusnya lebih efisien untuk dilayani dengan kereta api (KA) atau kapal.

"MTI mendorong Kementerian Perhubungan menyusun Masterplan Nasional Angkutan Barang yang mengintegrasikan kawasan industri, pelabuhan, jalan tol, bandara, dan stasiun KA, merancang jaringan lintasan distribusi dan simpul angkutan barang yang efisien dan berimbang antar moda, dan menyusun target jangka panjang untuk pengalihan beban dari truk ke moda lain yang lebih ramah infrastruktur," tutur Djoko.

2. Roadmap tata kelola distribusi barang oleh Kemenperin dan Kemendag

Ilustrasi truk. IDN Times/Gideon Aritonang

Usulan kedua, roadmap atau peta jalan tata kelola distribusi barang oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Djoko mengatakan, pabrik, perkebunan, pertambangan dan pemilik barang tak bisa terus dibiarkan berdiri bebas di luar sistem pengendalian ODOL dan tanpa hukum.

MTI mencatat, saat ini tak ada regulasi manifest barang, tak ada sanksi bagi pemilik yang memaksa sopir melanggar batas muatan, dan tak ada standar pengemasan di sektor industri untuk menghindari ukuran berlebih.

"MTI mengusulkan Kementerian Perindustrian, Pertanian, ESDM, dan Kementerian Perdagangan menyusun roadmap tanggung jawab distribusi barang dari sisi hulu, penetapan SOP logistik industri dari sisi volume, jenis kemasan, hingga moda yang digunakan, dan penataan tata kelola antarkementerian agar ego sektoral tidak lagi jadi penghalang," beber Djoko.

3. Kebijakan logistik nasional berbasis supply chain

Kawasan terminal logistik di kompleks Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. (IDN Times/Dok Humas Pelindo Subholding Tanjung Emas)

Usulan ketiga terkait dengan kebijakan nasional berbasis supply chain guna efisiensi sektor logistik dan melindungi pengemudi.

Menurut Djoko, kebijakan logistik nasional berbasis supply chain harus dirancang sebagai kerangka induk tata kelola sektor logistik yang mencerminkan karakter alaminya sebagai sistem interdependen, lintas sektor, dan lintas wilayah yang menopang aliran barang, informasi, dan nilai ekonomi.

Karakter ini menjadikan logistik tidak dapat diatur secara sektoral atau terpisah-pisah, melainkan harus melalui pendekatan integratif yang menghubungkan hulu-hilir kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu menjadi rujukan utama bagi harmonisasi regulasi sektoral lintas kementerian dan lembaga, serta fondasi bagi penyusunan sistem logistik nasional yang efisien, resilien, dan berdaya saing.

Djoko mengatakan, truk bukan sekadar alat distribusi. Mereka adalah manusia yang bekerja dengan tekun mencari nafkah halal untuk keluarganya. Mereka adalah simpul vital dalam rantai pasok industri nasional.

Namun, sistem logistik saat ini memperlakukan mereka seperti mesin industri yang bisa terus terusan dieksploitasi. Oleh karena hal tersebut sudah sistemik, maka jika negara ingin hadir menyelamatkan warga negaranya yang berprofesi sebagai sopir truk, maka harus ada pendekatan sistemik melalui kebijakan logistik yang berbasis supply chain mencakup semua kegiatan ekonomi.

"Kebijakan logistik nasional berbasis supply chain yang menggabungkan regulasi transportasi, , perindustrian, perdagangan, dan ketenagakerjaan. Penetapan standar gaji, jam kerja, dan perlindungan hukum bagi sopir. Pengakuan formal terhadap profesi pengemudi sebagai pilar sistem ekonomi logistik nasional," ujar Djoko.

Editorial Team