Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Banyak Truk ODOL dan Kecelakaan Imbas Minimnya Upah Sopir

ilustrasi truk (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
Intinya sih...
  • Upah sopir truk berkisar antara Rp1 juta hingga Rp4 juta, di bawah standar UMR.
  • Persaingan tarif mengangkut barang menyebabkan tekanan biaya dan upah rendah bagi sopir truk.
  • MTI menilai penetapan standar upah perlu dilakukan pemerintah untuk industri logistik yang bergantung pada peran sopir truk.

Jakarta, IDN Times - Kehidupan sopir truk saat ini masih jauh dari kondisi sejahtera. Salah satu penyebabnya adalah upah atau gaji yang mereka terima masih di bawah standar upah minimum regional (UMR).

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyebutkan, minimnya kesejahteraan sopir membuat banyak truk mengalami kecelakaan akibat membawa muatan terlalu banyak alias over dimension over load (ODOL).

"Penghasilan pengemudi sebulan rata-rata Rp1 juta sampai dengan Rp4 juta, masih di bawah upah minimal di daerah," kata Djoko kepada IDN Times, Selasa (13/5/2025).

1. Persaingan tarif bikin kesejahteraan sopir truk minim

default-image.png
Default Image IDN

Menurut Djoko, kondisi kesejahteraan sopir truk saat ini sudah tidak seperti dulu. Hal itu diakibatkan persaingan tarif mengangkut barang.

Semenjak Undang Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disahkan, telah terjadi perang tarif yang tidak sehat di bisnis transportasi barang. Imbasnya, para pengusaha truk berupaya menekan biaya sedalam-dalamnya agar mendapatkan tender dari perusahaan milik barang.

"Kemudian dikorbankan pengemudi dikasih gaji atau upah yang rendah," kata Djoko.

2. Revisi Undang Undang 22/2009

ilustrasi truk (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Djoko menambahkan, pemerintah mesti merevisi UU 22/2009 khususnya pada Pasal 184 yang mengatur tentang penerapan tarif angkutan barang.

Pasal tersebut menyatakan, tarif angkutan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum. Tarif angkutan barang tidak ditetapkan secara rigid oleh pemerintah, melainkan melalui kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum.

Ketentuan ini berbeda dengan angkutan umum yang memiliki tarif dasar ditetapkan oleh pemerintah, dengan batas bawah dan atas. Hal ini dapat menyebabkan variasi tarif signifikan antara perusahaan angkutan, yang disebut sebagai perang tarif.

"Perang tarif angkutan barang adalah persaingan harga yang tidak sehat antara pengusaha angkutan barang. Perang tarif ini berdampak pada kerusakan infrastruktur jalan dan daya saing pengusaha. Kerusakan jalan disebabkan kendaraan barang berdimensi dan muatan berlebih," tutur Djoko.

3. MTI tuntut pemerintah terapkan upah standar buat sopir truk

ilustrasi truk (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Oleh karena itu, MTI menilai penetapan standar upah bagi sopir truk perlu dilakukan pemerintah. Menurut MTI, selama ini upah bagi sopir truk masih di bawah standar padahal perannya tidak bisa dikucilkan bagi industri logistik tanah air.

"Upah pengemudi, harus ada standar. Sudah masuk di Kemnaker, gak diberesin karena tidak politis. Saya bilang gak ada sopir itu, jangankan kita, presiden itu gak bisa makan nasi. Beras itu yang bawa sopir, tapi malah sering diabaikan," kata Djoko.

Untuk memprotes minimnya upah yang mereka terima, Djoko menyebutkan sopir-sopir truk siap melakukan aksi mogok kerja selama seminggu.

Alih-alih demonstrasi, sopir-sopir truk siap melakukan aksi mogok kerja demi menuntut haknya yang selama ini tidak digubris para pemangku kepentingan.

"Mereka sudah jengkel, gak pernah didengar. Mereka gak mau demo, mogok aja satu minggu, habis, lumpuh kita," ujar Djoko.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ridwan Aji Pitoko
EditorRidwan Aji Pitoko
Follow Us