Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
HYP01438.JPG
(Kiri-Kanan) Ketua Dewan Guru Besar FEB UI Mohamad Ikhsan, dan Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro di IDN Times Leadership Forum (IDN Times/Herka Yanis)

Intinya sih...

  • Lulusan sarjana kesulitan memperoleh pekerjaan, banyak yang memilih menjadi pengemudi ojol.

  • Jumlah pengangguran meningkat 0,08 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,76 persen.

  • Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 1 juta lulusan universitas menganggur, sementara jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebanyak 145,77 juta orang.

Jakarta, IDN Times - Banyaknya pemutusan hubungan kerja alias PHK dan minimnya pekerjaan formal bagi lulusan sarjana membuat pekerjaan sebagai mitra pengemudi ojek online (ojol) memperoleh banyak peminat.

Hal itu pun terjadi di Grab Indonesia yang memiliki hampir setengah dari jumlah mitra pengemudinya saat ini merupakan korban PHK saat pandemik COVID-19 melanda lima tahun silam.

"Dari 3,7 juta driver yang terdaftar di platform kami, 50 persen driver kami adalah korban PHK setelah COVID dan benar bahwa dari total 3,7 juta itu, 69 persen lulusan SMA, SMK, berarti yang 31 persennya lulusan perguruan tinggi termasuk S2, ada juga D3 dan S1," kata Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi dalam IDN Leadership Forum, dikutip Senin (14/7/2025).

1. Lulusan sarjana kesulitan memperoleh pekerjaan

Ilustrasi ojol. (IDN Times/Sukma Shakti)

Pilihan menjadi pengemudi ojol tentunya tidak sesuai dengan harapan mereka yang lulusan sarjana. Namun, daripada menganggur dan sulit mendapatkan pekerjaan, menjadi pengemudi ojol setidaknya bisa membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Persoalan sarjana yang menganggur dan kesulitan mencari pekerjaan ditunjukkan lewat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Februari 2025. Mengutip laporan BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 untuk lulusan diploma IV, S1, S2, dan S3 berada di angka 6,23 persen. Di sisi lain, TPT untuk lulusan diploma I/II/III sebesar 4,84 persen.

2. Jumlah pengangguran meningkat 0,08 juta orang

ilustrasi pengangguran (pexels.com/Ron Lach)

Adapun komposisi angkatan kerja pada Februari 2025 terdiri dari 145,77 juta orang penduduk bekerja dan 7,28 juta orang pengangguran.

Apabila dibandingkan dengan Februari 2024, jumlah angkatan kerja, jumlah penduduk bekerja, dan pengangguran masing-masing bertambah sebanyak 3,67 juta orang, 3,59 juta orang, dan 0,08 juta orang.

Sementara itu, TPT hasil Sakernas Februari 2025 tercatat sebesar 4,76 persen. Hal ini dapat diartikan, terdapat lima orang penganggur dari 100 orang angkatan kerja. Pada Februari 2025, TPT mengalami penurunan sebesar 0,06 persen poin dibandingkan dengan Februari 2024.

3. Kemnaker sebut ada 1 juta lebih sarjana menganggur

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/5/2025). Rapat tersebut membahas evaluasi permasalahan pemutusan hubungan kerja (PHK) sektor industri padat karya pemerintah atau swasta. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Fakta menohok lainnya disampaikan oleh Menteri Ketenegakerjaan (Menaker), Yassierli yang mengungkapkan, ada 1.010.652 orang lulusan universitas menjadi pengangguran. Hal itu disampaikan Yassierli kala menghadiri Kajian Tengah Tahun Indef 2025 pada 2 Juli lalu.

Sementara lulusan diploma yang menjadi pengangguran sebanyak 177.399 orang. Lulusan SMK yang menganggur ada 1.628.517 orang. Kemudian ada 2.038.893 lulusan SMA menganggur, dan sebanyak 2.422.846 orang lulusan SD serta SMP menjadi pengangguran.

Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia yang saat ini bekerja sebanyak 145,77 juta orang. Dari angka tersebut, sebanyak 38,67 persen bekerja di sektor formal dan 56,57 persen pekerja di sektor informal (termasuk setengah pengangguran).

Adapun terkait solusi pengangguran, Yassierli menjelaskan mesti melihatnya dari dua sisi, yakni ketersediaan tenaga kerja dan permintaan terhadap tenaga kerja.

"Saya tetap melihat bahwa solusi pengangguran itu kita harus melihatnya dari dua sisi, yaitu supply dan demand. Saya bicara demand-nya dulu. Jadi, kondisi global itu adalah sesuatu yang memang kita harus mitigasi, tapi bersamaan dengan itu, kondisi dalam negeri harus kita optimalkan. Sudah jelas bahwa pemerintah, pak presiden, memiliki program prioritas yang menghabiskan sekian ratus triliun. Sepertinya kita masih banyak wait and see," tutur dia.

Editorial Team