TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Apakah Indonesia Benar-benar Aman dari Resesi?

Ini dampak resesi yang tetap harus diwaspadai Indonesia

ilustrasi resesi (IDN Times/Esti Suryani)

Jakarta, IDN Times – Indonesia dinilai relatif aman dari dampak resesi yang diperkirakan baru akan berakhir di akhir 2023 atau di awal 2024. Kebijakan makro yang diambil Indonesia dinilai membuat kondisi relatif aman tersebut.

“Misalnya saja, untuk mengontrol inflasi, Indonesia tidak hanya menggunakan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI, tapi juga dibarengi dengan menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar dan di tingkat petani,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Senin (23/1/2023).

Resesi adalah memburuknya kondisi perekonomian negara selama dua kuartal berturut-turut yang ditandai dengan penurunan GDP, meningkatnya pengangguran dan penurunan produktivitas pada sektor riil. Penyebab utama resesi ekonomi kali ini adalah naiknya suku bunga bank sentral negara-negara kekuatan utama dunia sebagai upaya dalam menekan inflasi. 

Baca Juga: Jokowi Kutip Ramalan IMF: Hati-hati! Sepertiga Dunia Resesi di 2023

Baca Juga: 3 Hal Ini Bisa Jadi Penyebab Resesi di 2023

1. Tingkat inflasi dan cadangan devisa relatif aman

ilustrasi inflasi (IDN Times/Aditya Pratama)

Hasran melanjutkan, dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari tingkat inflasi Indonesia yang berada di kisaran 5 persen selama tahun 2022 dengan tingkat suku bunga acuan kisaran 5.50 persen. Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada di kisaran 30,1 persen, jauh dari batas aman 60 persen yang ditetapkan dalam undang-undang. 

Cadangan devisa Indonesia juga berada dalam kategori aman, yaitu setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Baca Juga: Gawat! Forum Ekonom Top WEF 2023 Ramalkan Resesi Global Tahun Ini

2. Sektor perdagangan masih harus waspada

Ilustrasi perdagangan (ANTARA FOTO)

Walaupun begitu, sektor perdagangan sangat mungkin terdampak resesi global. Hal ini bisa menghentikan surplus neraca perdagangan yang sempat diraih Indonesia sejak awal 2020.

"Surplus yang disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan CPO ini akan terhenti karena adanya penurunan permintaan dan harga untuk komoditas-komoditas tadi di pasar global," ujarnya. 

3. Daya beli masyarakat dan ancaman PHK masih membayangi

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Hasran juga melihat kondisi ini akan membuat industri membayar biaya bunga pinjaman yang lebih tinggi. Untuk meminimalisasi ini, industri akan lebih memilih mengurangi produksinya dan mengurangi jumlah tenaga kerja.  

“Kondisi ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli karena masyarakat akan memprioritaskan konsumsinya pada hal-hal yang dianggap penting. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan sektor-sektor terkait,” tambahnya.

Berkurangnya permintaan di Eropa dan Amerika sebagai dampak dari krisis biaya hidup ini akan mempengaruhi produksi dan margin perusahaan-perusahaan multinasional atau perusahaan manufaktur di Indonesia. Dalam masa ini, perusahaan akan bisa saja melakukan PHK. Sedangkan lapangan pekerjaan baru yang dibuka akan lebih sedikit. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya