TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Selama Masa COVID-19, Daya Beli Masyarakat Hilang Rp362 Triliun

Banyak jam kerja hilang selama masa pandemik COVID-19

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa (IDN Times/Kevin Handoko)

Jakarta, IDN Times - Wabah virus corona (COVID-19) memukul sektor ekonomi di seluruh dunia secara signifikan, termasuk Indonesia. Salah satu dampak yang terasa adalah daya beli masyarakat yang mengalami penurunan.

Selama masa COVID-19, daya beli masyarakat terpangkas Rp362 Triliun. Penurunan itu terjadi akibat banyaknya jam kerja yang hilang selama pandemik, mulai dari sektor industri manufaktur hingga investasi.

“Pandemik ini mengakibatkan dari 30 Maret sampai 6 Juni 2020 atau sekitar 10 minggu hilangnya jam kerja yang luar biasa. Ini menghilangkan daya beli sekitar Rp362 triliun,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (22/6).

Baca Juga: Meningkatkan Daya Beli Rakyat Gak Cukup Diskon, Tapi Juga Perlu Bansos

1. Daya beli menurun, sektor UMKM dan manufaktur ikut terdampak

Ilustrasi produk UMKM/UKM (IDN Times/Shemi)

Turunnya daya beli masyarakat dipicu oleh hilangnya pendapatan masyarakat. Sebagian dari mereka memilih untuk menekan pengeluaran selama masa pandemik. Hal itu berimbas pada sektor industri manufaktur dan UMKM.

“Ini yang menjelaskan kenapa tidak ada pembeli sehingga UMKM mendapatkan penghasilan yang turun drastis dan menyebabkan utilitas manufaktur turun sampai 30 persen,” katanya.

2. Cegah penurunan daya beli, pemerintah gelontorkan Rp203,9 triliun lewat social safety net

Dok. IDN Times

Suharso membeberkan bahwa pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp203,9 triliun melalui jaring pengaman sosial. Hal itu dilakukan agar daya beli masyarakat tidak semakin tertekan.

Hanya saja, menurutnya, upaya tersebut belum optimal lantaran masih ada penyalutan bantuan sosial ke daerah banyak terjadi ketidakcocokan data.

“Bersama Menteri Sosial dan Kepala Daerah, kami mendiskusikan bahwa memang ada data yang missing. Ibu Menkeu juga mengatakan dari hasil survei hanya 30 persen sampai 40 persen yang tepat sasaran,” ungkapnya.

Baca Juga: Badai PHK Menerjang, Potensi Kemiskinan Baru Tak Terbendung

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya