TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kemenkeu Masih Bungkam soal RUU HPP yang Lolos di DPR

Pembahasan RUU HPP dinilai diam-diam, segera ke Paripurna

Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu). (IDN Times/Helmi Shemi)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disepakati bersama dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Namun, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum mau angkat bicara secara gamblang terkait golnya RUU tersebut. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu mengaku pemerintah tak mau bicara banyak terkait RUU HPP dengan alasan masih menunggu pengesahan berdasarkan Sidang Paripurna di DPR RI pekan depan. RUU yang semula bernama RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) tersebut telah diajukan ke DPR sejak pertengahan tahun ini.

"Terkait dengan RUU perpajakan (HPP), karena ini akan diputuskan minggu depan di Sidang Paripurna, maka kita tunggu saja dan kami akan sampaikan informasi lengkapnya nanti," ujar Febrio, dalam Taklimat Media, Jumat (1/10/2021).

Baca Juga: Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen Tahun Depan

Baca Juga: Ada Tax Amnesty Jilid II, Simak Skemanya!

1. Menkeu belum beri komentar

(Staf ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo) ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Pemerintah atau dalam hal ini Kemenkeu belum memberikan informasi detail mengenai RUU HPP yang telah disepakati DPR. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun belum memberikan penjelasan.

Publik mendapatkan informasi terkait ketok palu RUU HPP hanya dari cuitan Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo di akun Twitter pribadinya, Kamis (30/9/2021).

"Alhamdulilah puji Tuhan! RUU KUP (menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) disetujui Komisi XI DPR utk dibawa ke Paripurna dan disahkan menjadi UU. Proses yang panjang, deliberatif, diskursif, dan dinamis demi reformasi perpajakan dan Indonesia maju adil sejahtera," tulis Yustinus, seperti dikutip IDN Times, Jumat siang.

Dalam lanjutan cuitan tersebut, Yustinus juga memastikan bahwa pemerintah dan DPR RI tidak akan menerapkan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN untuk segala kebutuhan barang dan jasa yang esensial bagi masyarakat kebanyakan.

"Pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mendengarkan dan berkomitmen terus memberikan dukungan bagi kelompok masyarakat bawah, maka barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN," tulisnya.

2. Pembahasan final RUU HPP di DPR diam-diam

(Ilustrasi gedung DPR) IDN Times/Kevin Handoko

Adapun, keputusan final anggota dewan setuju untuk membawa RUU HPP ke Sidang Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang pun terkesan diam-diam. Sebelumnya pembahasan RUU KUP sempat menuai polemik mengenai sejumlah poin, termasuk kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako, pendidikan, dan kesehatan. 

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira pun menyebutkan kesan diam-diam itu karena prosesnya yang kurang partisipatif dan cenderung elitis.

"Padahal naiknya tarif pajak kan berimplikasi luas ke masyarakat. Selain itu banyak pembahasan yang harus didalami dengan kajian yang komprehensif. Sayangnya pemerintah seakan buru-buru mengesahkan dengan narasi adanya urgensi yang sangat mendesak untuk selamatkan penerimaan pajak, dan kendalikan defisit anggaran," tutur Bhima, kepada IDN Times.

Baca Juga: RUU HPP Diketok Palu, Begini Nasib PPN Sembako dan Sekolah

2. Kenaikan tarif PPN dalam RUU HPP jadi sorotan

Ilustrasi Penerimaan Pajak. (IDN Times/Arief Rahmat)

Ada beberapa sorotan terkait isi RUU HPP yang draf-nya sudah beredar saat ini. Dari draf yang diperoleh IDN Times, tarif PPN dicantumkan mengalami kenaikan mulai tahun depan yang awalnya hanya 10 persen.

"Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a. sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022," bunyi pasal 7 ayat (1) poin a seperti yang dikutip dari draf RUU HPP.

Dalam beleid itu juga pemerintah akan menaikkan lagi tarif PPN menjadi 12 persen yang berlaku paling lambat pada Januari 2025.

"Sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025," bunyi pasal 7 ayat (1) poin b.

Baca Juga: Ada Tax Amnesty Jilid II, Simak Skemanya!

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya