TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aturan Produk Tembakau Bisa Matikan Ekosistem IHT

Jawa Timur paling banyak produksi rokok

Ilustrasi tembakau (IDN Times/Bagus F)

Jakarta, IDN Times - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menolak draf RPP terkait pengamanan zat adiktif produk tembakau. Draf RPP yang disusun ini menjadi mandat dari Undang-Undang No/17/2023 tentang Kesehatan.

Salah satu bagian RPP yang sedang disusun adalah pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau yang tertuang dalam pasal 152. Adapun beberapa hal yang akan diatur pemerintah yakni larangan iklan, display produk, dan larangan penjualan eceran atau batang. 

"Pengaturan tentang produk tembakau sebagaimana dalam draf RPP cenderung restriktif. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pasal pelarangan, bukan pengendalian," tegas Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan dalam keterangannya Rabu (20/09/2023).

Baca Juga: GAPPRI: Pungutan Negara Langsung ke IHT Lampaui Nilai Keekonomian

Baca Juga: Beri Kepastian Berusaha, Indonesia Didorong Punya Roadmap IHT

1. MK sudah enak kali putuskan bahwa produk tembakau legal

ilustrasi rokok (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) tercatat enam kali memutuskan produk tembakau adalah produk legal yang dibuktikan dengan dikenakan cukai.

Enam putusan yang menyebutkan bahwa tembakau adalah produk legal antara lain: Putusan MK No. 54/PUU-VI/2008, Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, Putusan MK No. 19/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010, Putusan MK No. 57/PUU-IX/201, Putusan MK No. 71/PUU-XI/2013, dan Putusan MK No. 81/PUU-XV/2017.

"Karena produk legal, seharusnya pengaturannya pun disesuaikan dengan produk legal lainnya," ujar Henry Najoan.

2. Industri hasil tembakau serap tenaga kerja 6 juta orang

Ilustrasi pekerja melinting rokok sigaret kretek di salah satu industri rokok di Tulungagung, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)

Henry khawatir apabila kebijakan yang terlalu ketat terhadap kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) akan dapat mematikan ekosistem pertembakauan. Lantaran industri ini mampu menyerap tenaga kerja yang mencakup on farm dan off farm hingga 6 juta orang.

Apalagi ekosistem pertembakauan ini telah terbentuk lama, dari hulu hingga hilir serta memiliki multiplier effect yang panjang.

"IHT juga menjadi tempat bergantung bagi jutaan masyarakat Indonesia mulai petani tembakau, petani cengkeh, pekerja pabrik, peritel, pekerja periklanan, pekerja logistik dan transportasi, hingga usaha-usaha pendukung lainnya yang tumbuh dari bisnis pertembakauan. Kalau ekosistem tembakau dimatikan, apakah sudah siap dengan konsekuensinya?” tegas Henry.

3. Kontribusi IHT terhadap PDB terus susut

Ilustrasi petani tembakau. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Berdasarkan kajian GAPPRI, peraturan yang dibuat pemerintah saat ini sudah cukup memberatkan. Dampaknya pabrik rokok jumlahnya turun dari 4.669 unit usaha di tahun 2007 menjadi 1.100 di tahun 2022.

"Produksi juga terus menurun dimana di tahun 2013 sebesar 346 miliar batang menjadi 324 miliar batang pada tahun 2022," katanya.

Turunnya kontribusi IHT terhadap PDB, sudah mulai terjadi sejak tahun 2018 sebesar 5,05 persen menjadi 4,18 persen di tahun 2022 dan kembali turun menjadi 4,05 persen hingga saat ini.

"Bahwa IHT telah berkontribusi terhadap penerimaan negara cukup besar antara lain dari pendapatan cukai tahun 2022 sebesar Rp218,6 triliun. Karena itu, GAPPRI berharap pengaturan terhadap IHT sebagaimana dalam dokumen draf RPP harus mencerminkan diantaranya asas kemanusiaan, kebangsaan, kenusantaraan, keadilan yang memberikan kepastian usaha bagi IHT kretek nasional," pungkasnya.

Baca Juga: Kebijakan Kenaikkan IHT, Pemerintah Tidak Perhatikan Dampak pada Buruh

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya