Asosiasi Terlanjur MoU, RI Tetap Borong Gandum dari AS pada 2026-2030

- Kebutuhan gandum Indonesia mencapai 8-9 juta ton per tahun, dengan sebagian besar digunakan untuk produksi terigu dan produk olahannya.
- Aptindo tidak dijanjikan insentif oleh pemerintah terkait impor gandum dari AS, tetapi tetap mendukung kebijakan pemerintah.
- Aptindo menilai pentingnya adaptasi terhadap kondisi politik global untuk memainkan strategi yang cerdas dalam menjaga stabilitas pasokan bahan baku industri tepung terigu nasional.
Jakarta, IDN Times – Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) memastikan akan tetap mengimpor gandum dari Amerika Serikat (AS) sebanyak 1 juta metrik ton per tahun selama lima tahun ke depan, terhitung mulai 2026 hingga 2030. Kebijakan ini sejalan dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Aptindo dan US Wheat Associates pada Senin (7/7/2025).
Direktur Eksekutif Aptindo, Ratna Sari Loppies, menegaskan kerja sama ini akan tetap berjalan meskipun Amerika Serikat masih mempertahankan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap sejumlah produk asal Indonesia.
“Kami sudah memiliki nota kesepahaman dengan US Wheat Associates untuk menyerap gandum dari mereka sebesar 1 juta metrik ton per tahun mulai 2026 hingga 2030, dengan nilai transaksi sekitar 250 juta dolar AS atau sekitar Rp4,05 triliun per tahun,” kata Ratna kepada IDN Times, Kamis (10/7/2025).
US Wheat Associates (USW) adalah organisasi pengembangan pasar ekspor untuk industri gandum Amerika Serikat. USW mempromosikan keandalan, kualitas, dan nilai dari keenam kelas gandum AS kepada pembeli, penggilingan, pembuat roti, pengolah makanan, dan pejabat pemerintah di lebih dari 100 negara.
1. Kebutuhan gandum capai 8-9 juta ton

Ratna menjelaskan Aptindo tidak hanya bergantung impor gandum dari Amerika Serikat. Selama ini, gandum juga diimpor dari sejumlah negara lain seperti Australia, Argentina, Brasil, Kanada, negara-negara Eropa, serta Ukraina.
Diversifikasi ini penting untuk menjaga stabilitas pasokan bahan baku industri tepung terigu nasional, apalagi kebutuhan gandum Indonesia saat ini berkisar antara 8 hingga 9 juta ton per tahun, sebagian besar digunakan untuk produksi terigu dan produk olahannya yang menyasar pasar domestik maupun ekspor ke Asia Tengah. Namun, hingga saat ini Australia masih menjadi pemasok utama karena keunggulan geografis yang berdampak langsung pada efisiensi biaya logistik.
“Letak Australia yang lebih dekat membuat biaya pengiriman (freight cost) jauh lebih murah dibandingkan dengan Amerika,” ujarnya.
Ia menambahkan dalam beberapa tahun terakhir, volume impor dari AS memang mengalami penurunan akibat terbatasnya pasokan yang dipicu oleh gangguan cuaca ekstrem.
“Kerja sama dengan AS tetap penting sebagai bagian dari strategi menjaga diversifikasi pasokan, meskipun secara volume Australia masih yang terbesar,” tambah Ratna.
2. Tidak dijanjikan insentif, tapi Aptindo tetap dukung pemerintah

Terkait kemungkinan adanya dukungan atau insentif dari pemerintah dalam kerja sama impor tersebut, Ratna menegaskan tidak ada janji atau imbal balik khusus yang diberikan. Namun, Aptindo tetap berkomitmen untuk mendukung kebijakan pemerintah.
“Apakah pemerintah menjanjikan sesuatu sebagai bentuk dukungan atau bargaining? Tidak. Tapi kami tetap mendukung pemerintah. Karena kalau pemerintahnya berjalan dengan baik, maka kita pun bisa menjalankan usaha dengan baik. Itu bentuk keberpihakan kita terhadap negara,” tegasnya.
Ratna juga berharap pemerintah dapat memperbaiki sistem perpajakan yang dinilai masih belum kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain.
“Perlu ada evaluasi treatment pajaknya. Jangan sampai beban pajak kita lebih tinggi dibanding negara lain. Kalau tidak kompetitif, ini bisa menghambat pertumbuhan industri,” katanya.
3. Adaptif hadapi kondisi politik global

Lebih lanjut, Aptindo menilai dinamika politik dan ekonomi global merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun, pelaku industri dapat tetap bertahan dan berkembang dengan memainkan strategi yang cerdas, termasuk melalui dukungan terhadap diplomasi ekonomi pemerintah.
“Kita tidak bisa menghindar dari dinamika politik global. Yang bisa kita lakukan adalah memainkan strategi dengan cerdas,” ungkap Ratna.