Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bebas Bea Masuk Produk AS ke Indonesia, Penerimaan Bisa Susut Rp7,68 T

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Peringatan tentang neraca dagang RI yang berisiko
  • Alokasi subsidi energi dinilai kurang memadai
  • Subsidi energi dapat melebar jika selisih ekspor dan impor migas semakin besar

Jakarta, IDN Times – Center of Economic and Law Studies (Celios) memprediksi kebijakan pemberian tarif nol persen untuk impor produk asal Amerika Serikat (AS) berpotensi menimbulkan kerugian signifikan terhadap penerimaan bea masuk. Menurut Celios, kebijakan tarif nol persen yang muncul dari hasil negosiasi terkait tarif resiprokal pemerintahan Donald Trump berpotensi menghadirkan kerugian terhadap penerimaan bea masuk hingga Rp7,68 triliun per tahun.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan perdagangan antara Indonesia dengan AS mengalami ketimpangan. Sebab, pada saat bersamaan, ekspor Indonesia ke AS justru masih dikenakan tarif tinggi, mencapai 19 persen, dan menghadirkan kerugian yang membebani struktur fiskal negara dalam jangka panjang.

"Ada potensi kehilangan pendapatan bea masuk dari produk asal AS setelah diberlakukannya tarif nol persen, mencapai Rp7,68 triliun per tahun. Tentu saja, hal ini berisiko memperlebar defisit APBN dan menciptakan beban utang baru," kata Bhima kepada IDN Times, Senin (21/7/2025).

1. Wanti-wanti kinerja neraca dagang RI

WhatsApp Image 2025-07-18 at 15.13.23.jpeg
Infografis Surplus Perdagangan RI dengan AS dalam 10 Tahun Terakhir (IDN Time/Aditya Pratama)

Tak hanya sisi penerimaan bea masuk, Bhima menyoroti adanya ketimpangan tarif ekspor Indonesia ke AS dan sebaliknya yang memiliki risiko tinggi bagi neraca dagang Indonesia. Bahkan impor produk dari AS akan membengkak, salah satunya sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum dsb), serta farmasi.

"Tercatat, sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai 5,37 miliar dolar AS setara Rp87,3 triliun," ujar Bhima.

2. Alokasi subsidi energi Rp203,4 triliun dinilai tidak cukup

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Di sisi lain, pemerintah menghadapi tantangan serius dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, terutama terkait dengan lonjakan subsidi energi akibat pelebaran defisit migas dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Dalam dokumen RAPBN 2026 yang tengah dibahas, pemerintah mengusulkan alokasi subsidi energi sebesar Rp203,4 triliun. Namun, alokasi anggaran tersebut dinilai tidak mencukupi, mengingat ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) yang terus meningkat.

"Alokasi tersebut diperkirakan masih terlalu rendah. Kebutuhan subsidi energi tahun depan bisa mencapai Rp300 hingga Rp320 triliun," ujar Bhima.

3. Subsidi energi berpotensi melebar jika selisih ekspor dan impor migas melebar

Tarif Trump
Top Ekspor Indonesia. (Grafis: Aditya Pratama)

Pelebaran defisit migas terjadi karena selisih antara ekspor dan impor migas terus melebar. Ketergantungan impor BBM dan LPG membuat Indonesia semakin rentan terhadap gejolak harga energi global dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Dampaknya, anggaran negara harus menanggung beban subsidi lebih besar. Terdapat kekhawatiran pula dalam konteks hasil negosiasi, Indonesia diharuskan membeli produk minyak dan LPG dari negara mitra, seperti Amerika Serikat, dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar.

"Jika Indonesia diharuskan beli produk minyak dan LPG, tapi harganya di atas yang biasa dibeli Pertamina, repot juga," ujar Bhima.

Melihat kondisi ini, Bhima menilai sudah saatnya pemerintah mempercepat agenda transisi energi fosil ke baru dan terbarukan. Langkah ini dinilai penting untuk mengurangi defisit migas serta menekan ketergantungan terhadap energi impor.

"Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan," kata Bhima.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us