Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
20250718_140213(1).jpg
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (18/7/2025). (IDN Times/Trio Hamdani)

Intinya sih...

  • Indonesia utamakan efisiensi dan keuntungan bersama

  • Pengalihan impor harus disertai langkah antisipatif

  • Pertamina mempertimbangkan sejumlah aspek

Jakarta, IDN Times - Pemerintah menegaskan rencana peningkatan impor energi dari Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari kesepakatan dagang kedua negara harus tetap mengacu pada prinsip ekonomi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan itu di tengah kesepakatan negosiasi tarif antara Indonesia dan AS yang mencakup komitmen pembelian sejumlah komoditas, termasuk energi.

Negosiasi tarif yang dimaksud adalah kesepakatan antara Indonesia dan AS untuk menurunkan tarif ekspor produk Indonesia ke AS, dengan imbalan peningkatan impor produk energi dari AS seperti liquefied petroleum gas (LPG), minyak mentah (crude), dan bahan bakar minyak (BBM).

"Semuanya kita akan hitung sesuai dengan harga keekonomian yang sama," kata Bahlil kepada jurnalis di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (18/7/2025).

1. Indonesia utamakan efisiensi dan keuntungan bersama

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (18/7/2025). (IDN Times/Trio Hamdani)

Mantan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan seluruh aspek pengadaan minyak dan gas (migas) akan dihitung dengan cermat.

Menurutnya, Indonesia mau kerja sama impor migas dengan harga yang efisien dan tidak merugikan. Pemerintah menginginkan skema perdagangan yang adil dan tidak membebani subsidi energi nasional.

"Harus saling menguntungkan, ya. Dan kita ingin negara kita juga harus mendapatkan harga yang se-efisien mungkin," tegas Bahlil.

2. Pengalihan impor harus disertai langkah antisipatif

Kapal tanker PT Pertamina International shipping (PIS) (dok. PIS)

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menekankan pentingnya kesiapan teknis jika pemerintah tetap melanjutkan rencana pengalihan impor minyak ke Amerika Serikat.

Dia menyebut spesifikasi minyak mentah dari AS harus sesuai dengan kilang Pertamina, dan AS harus mampu menyediakan bahan bakar hasil blending seperti Pertalite. Menurutnya, harga impor dari AS juga minimal harus setara dengan harga impor dari Singapura agar tidak membebani keuangan negara.

Selain itu, pemerintah diminta bersikap tegas dalam memberantas praktik mafia migas yang berpotensi menghalangi kebijakan tersebut.

"Tanpa berbagai upaya tersebut, kebijakan alihkan impor minyak akan mengatasi defisit neraca perdagangan AS, tetapi juga akan menimbulkan masalah baru," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (13/5/2025).

3. Pertamina mempertimbangkan sejumlah aspek

Kantor Pertamina (dok. Pertamina)

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyatakan aspek logistik dan distribusi, kesiapan infrastruktur, serta dampak ekonomi sebagai faktor penting dalam mitigasi risiko yang dapat memengaruhi ketahanan energi nasional.

"Rencana peningkatan porsi impor migas dari Amerika Serikat ini tentu tidak lepas dari berbagai tantangan teknis dan risiko yang harus dipertimbangkan secara matang," kata dia di Gedung DPR RI, Jakarta, dikutip Jumat (23/5/2025).

Simon mengungkapkan pengiriman migas dari AS memerlukan waktu sekitar 40 hari, lebih lama dibandingkan pasokan dari Timur Tengah atau negara Asia. Jadi, gangguan cuaca seperti badai atau kabut dapat langsung memengaruhi ketahanan stok nasional.

"Apabila terjadi kendala faktor cuaca seperti badai ataupun kabut, maka akan berdampak langsung pada ketahanan stok nasional," ungkapnya.

Editorial Team