China Dorong Konsumsi untuk Pacu Ekonomi yang Lesu

- Pemerintah China meluncurkan rencana besar untuk meningkatkan konsumsi secara agresif dengan kebijakan peningkatan upah, subsidi pengasuhan anak, dan insentif baru.
- Langkah ini diumumkan sebagai upaya untuk mengangkat perekonomian yang sedang tertekan, dengan fokus pada meningkatkan daya beli masyarakat melalui berbagai insentif.
- Rencana ini juga mencakup dukungan sektor pariwisata domestik dan aturan visa bebas sepihak yang diperluas untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke China.
Jakarta, IDN Times – Pemerintah China meluncurkan rencana besar untuk “mendorong konsumsi secara agresif” dengan meningkatkan pendapatan dan mengurangi beban finansial masyarakat. Langkah ini diumumkan oleh Komite Sentral Partai Komunis China (CCP) dan Dewan Negara pada Minggu (16/3/2025), sebagai upaya untuk mengangkat perekonomian yang sedang tertekan.
Rencana ini mencakup kebijakan untuk “mempromosikan pertumbuhan upah yang wajar” serta memperbaiki mekanisme penyesuaian upah minimum. Selain itu, China berencana memberikan subsidi untuk pengasuhan anak, mendorong pasar baru seperti produk berbasis AI, serta meningkatkan daya beli masyarakat melalui berbagai insentif.
1. Pemerintah fokus pada kenaikan pendapatan dan beban finansial

Dalam dokumen yang dirilis, pemerintah China menekankan perlunya meningkatkan daya beli masyarakat dengan berbagai langkah strategis. Selain menaikkan upah, pemerintah juga berencana mengurangi beban biaya hidup, seperti pengasuhan anak dan perumahan, yang selama ini menjadi kendala bagi banyak keluarga muda.
“Rencana ini menghubungkan konsumsi dengan tujuan sosial yang lebih luas seperti perbaikan layanan lansia, dukungan pengasuhan anak, dan keseimbangan kerja-hidup,” demikian laporan yang diterbitkan Xinhua. Langkah ini menunjukkan bahwa konsumsi bukan sekadar target ekonomi, melainkan bagian dari strategi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Fu Linghui, juru bicara Biro Statistik Nasional China, menyatakan bahwa perekonomian negara masih menghadapi tantangan yang signifikan.
“Lingkungan eksternal semakin kompleks dan suram, permintaan domestik yang efektif masih kurang, beberapa perusahaan mengalami kesulitan dalam produksi dan operasional, serta fondasi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan masih belum stabil,” ujar Fu dalam konferensi pers pada Senin (17/3/2025).
2. Kebijakan baru disambut beragam oleh pasar keuangan

Pengumuman rencana ini berdampak pada pasar saham di kawasan Asia-Pasifik. Pada perdagangan Senin (17/3/2025), indeks saham di Korea Selatan, Hong Kong, dan Australia ditutup menguat. Namun, investor di China daratan tampak kurang antusias, dengan indeks CSI 300 yang justru turun 0,2 persen.
Meskipun ada peningkatan belanja ritel dibanding tahun lalu, ekonomi China masih dibayangi oleh tingkat pengangguran tertinggi dalam dua tahun terakhir serta penurunan harga properti di hampir seluruh kota besar dan menengah. Biro Statistik Nasional mencatat bahwa “fondasi untuk pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan belum cukup kuat.”
Richard Harris, CEO Port Shelter Investment Management, menilai bahwa pemerintah China saat ini harus berfokus pada pemulihan ekonomi domestik.
"Pihak berwenang bertekad untuk merangsang ekonomi, bertekad untuk terus berjalan, dan bahkan jika kita melihat beberapa masalah dengan sisi ekspor ekonomi, mereka bertekad untuk membuat ekonomi domestik berjalan. Karena mereka harus melakukanya," katanya kepada CNBC Internasional.
3. Tantangan global masih bayangi pertumbuhan ekonomi

China masih menghadapi tekanan eksternal yang cukup besar, termasuk ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat. Donald Trump berencana memperluas tarif impor terhadap produk China, yang berpotensi menambah tekanan bagi sektor manufaktur dan ekspor negara tersebut.
Zhiwei Zhang, Presiden dan Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management, memperingatkan bahwa “risiko terhadap ekonomi adalah dampak dari tarif AS yang lebih tinggi terhadap ekspor China, yang kemungkinan akan tercermin dalam data perdagangan beberapa bulan ke depan.”
Selain itu, langkah stimulus besar-besaran masih belum menjadi prioritas utama pemerintah China. Meskipun pada November lalu pemerintah mengumumkan dukungan utang senilai 10 triliun yuan China (sekitar Rp22.694.899 triliun) untuk pemerintah daerah, banyak analis yang menilai bahwa kebijakan ini masih belum cukup untuk mengatasi perlambatan ekonomi.
Lynn Song, Kepala Ekonom ING untuk China Raya, menilai bahwa kebijakan terbaru ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi masalah struktural jangka panjang.
“ini kemungkinan adalah arah multi-tahun daripada sesuatu yang dapat diperbaiki dalam beberapa bulan,” kata Song kepada CNBC Internasional.
Sebagai bagian dari rencana ini, pemerintah China juga berencana mendukung sektor pariwisata domestik, termasuk mendorong daerah bersalju menjadi destinasi wisata musim dingin berskala global. Selain itu, aturan visa bebas sepihak akan diperluas untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke China.
Dengan berbagai langkah yang telah diumumkan, pemerintah China berharap konsumsi domestik bisa menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Namun, efektivitas kebijakan ini masih perlu waktu untuk terlihat hasilnya.