Ekonomi China Tumbuh 5,2 Persen Meski Dihantam Tarif Trump

- Manufaktur dan ekspor bantu dorong pertumbuhan China di kuartal II-2025
- Ekspor China pada Juni naik 5,8 persen dibandingkan tahun lalu
Jakarta, IDN Times – Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2025 tercatat sebesar 5,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini melebihi proyeksi sejumlah ekonom yang memperkirakan 5,1 persen, meski lebih rendah dari pertumbuhan 5,4 persen pada kuartal I.
Tekanan dari tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan sektor properti yang belum pulih disebut sebagai penyebab utama perlambatan. Biro Statistik Nasional China (NBS) menyatakan, ekonomi negara itu tetap menunjukkan perbaikan.
“Ekonomi menahan tekanan dan membuat perbaikan yang stabil meskipun ada tantangan,” kata NBS, dikutip dari BBC, Selasa (15/7/2025).
1. Manufaktur dan ekspor bantu dorong pertumbuhan kuartal II

Kenaikan produksi manufaktur sebesar 6,4 persen ikut mengangkat pertumbuhan, terutama dari lonjakan permintaan produk cetak 3D, kendaraan listrik, dan robot industri. Sektor jasa yang mencakup transportasi, keuangan, dan teknologi juga mengalami peningkatan selama periode tersebut. Lonjakan ini menunjukkan sektor domestik tetap aktif meski ekonomi global melambat.
Di sisi perdagangan luar negeri, ekspor China pada Juni naik 5,8 persen dibandingkan tahun lalu. Kinerja ini melampaui proyeksi analis setelah produsen memanfaatkan jeda tarif dan mencari jalur ekspor alternatif. Menurut CNN International, ekspor tanah jarang bahkan melonjak 32 persen berkat kesepakatan yang dicapai dengan AS dalam pertemuan di London.
2. Penjualan ritel dan sektor properti tunjukkan pelemahan signifikan

Penjualan ritel pada Juni hanya tumbuh 4,8 persen, melambat dibanding 6,4 persen pada Mei. Penjualan makanan dan minuman menjadi yang paling tertekan, hanya naik 0,9 persen, terburuk sejak Desember 2022. Menurut data dari Wind Information, ini menandakan pelemahan daya beli masyarakat.
Sektor properti mencatat penurunan harga rumah baru paling tajam dalam delapan bulan terakhir. Meski berbagai langkah telah diluncurkan, pasar belum menunjukkan pemulihan berarti.
“Pasar properti masih dalam proses mencapai titik terendah,” kata Laiyun Sheng, wakil komisaris di NBS.
Ia menilai diperlukan dukungan yang lebih kuat untuk menstabilkan pasar.
Tekanan deflasi juga semakin nyata, dengan Indeks Harga Produsen (PPI) anjlok 3,6 persen dari tahun lalu, penurunan terdalam dalam hampir dua tahun. Kondisi ini menandai rekor deflasi produsen selama 33 bulan berturut-turut. Sementara itu, Indeks Harga Konsumen (CPI) hanya naik tipis 0,1 persen, menandakan inflasi tetap lemah meski ada sedikit kenaikan.
3. Pemerintah China siapkan stimulus dan prediksi ekonomi tetap di jalur target

Perang tarif antara Trump dan Presiden China, Xi Jinping, sempat memicu bea impor hingga 145 persen dari AS dan 125 persen untuk barang AS ke China. Namun, tarif ini ditangguhkan sementara usai negosiasi di Jenewa dan London. China kini memiliki batas waktu hingga 12 Agustus untuk mencapai kesepakatan perdagangan jangka panjang.
Wilayah Asia Tenggara jadi pelarian ekspor utama, dengan lonjakan ke Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sebesar lebih dari 18 persen pada Juni. Ekspor ke Vietnam bahkan naik lebih dari 25 persen dibanding bulan yang sama tahun lalu. Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan kepada CNBC International, ia akan bertemu mitranya dari China dalam beberapa minggu ke depan.
Ekonom Gu Qingyang dari Universitas Nasional Singapura menilai ketangguhan China mengejutkan banyak pihak.
“Pertumbuhan didorong oleh ekspor, terutama karena perusahaan-perusahaan bergegas mengirim barang sebelum tarif baru atau perubahan strategi ekspor China berlaku,” kata Gu kepada BBC.
Dewan Negara China pekan lalu meluncurkan serangkaian program untuk menstabilkan lapangan kerja, seperti bantuan pinjaman, pelatihan kejuruan, dan perluasan asuransi sosial. Tingkat pengangguran pemuda tetap tinggi di 14,9 persen, meski berada di titik terendah dalam hampir setahun. Meski paruh II-2025 diprediksi tidak menentu, Gu menilai target pertumbuhan 5 persen masih mungkin tercapai, namun sebagian analis tetap pesimistis terhadap proyeksi pertumbuhan tersebut.
“Pertanyaan sebenarnya adalah seberapa besar. Kami percaya itu akan mempertahankan batas bawah 4 persen, yang tetap menjadi tingkat minimum yang dapat diterima secara politik,” kata Dan Wang dari Eurasia Group kepada BBC.